Sahabat D’Impact, inspirasi dapat muncul dari berbagai hal, termasuk pengalaman pribadi. Demikian pula dengan inspirasi pencetus PetaNetra, smartphone app untuk navigasi para tunanetra, seperti diungkapkan Graciela Gabrielle Angeline di artikel terdahulu.
Mahasiswi S2 ini, yang juga salah satu pemrakarsa serta pemimpin non-profit startup terkait, banyak mengambil ilham dari masa kecilnya. Tak hanya dalam pengembangan aplikasi, tetapi juga dalam kiprahnya sebagai CEO PetaNetra dan harapannya bagi masa depan masyarakat Indonesia. Interaksi dengan disabilitas mewarnai pengalaman-pengalaman pemimpin muda ber-nickname Grace ini dalam masa formatif tersebut, yang baginya merupakan kelebihan dan bahkan privelege.
Nah, seperti apa interaksi yang dimaksud? Bagaimana interaksi tersebut menjadi inspirasi aksi dan harapan Grace di kemudian hari? Mari temukan dalam kilas balik kehidupan Grace berikut, sahabat D’Impact!
Interaksi dengan Disabilitas yang Bersifat “Built-In”
Interaksi dengan disabilitas yang paling dini bagi Grace adalah dengan kedua orangtuanya. Ibunya seorang tunanetra, sedangkan ayahnya selain tunanetra juga berkesulitan mendengar. Meskipun demikian, mulanya ia tak pernah menyangka ada yang berbeda dari kedua orangtuanya, sahabat D’Impact.
“Papi-Mami cukup mandiri dan bisa melakukan semuanya sendiri,” ia menuturkan, lantas menambahkan, “Tapi pas aku kecil, ada yang harus bantu aku belajar, karena dulu aku sempet nggak ngeles. Papi-Mami kan nggak bisa ngajarin aku pelajaran kayak baca-tulis huruf latin sama warna, jadi mereka hire ART (asisten rumah tangga) buat bantu aku di bagian itu. Tapi kita juga pakai ART itu cuma sampai aku SD kelas 3 atau 4 gitu. Jadi selebihnya ya udah kita mandiri, dan dari situ ya bisa dibilang aku menjadi pengganti mata bagi mereka, itu pun ketika memang dibutuhkan aja.”
Perihal bantuan yang paling sering diberikan Grace kepada orangtuanya, ia mengungkapkan, “Contoh kecilnya ya: Bantu lihatin uang. Terus juga kadang warna baju, sama warna kain perca buat keset, karena papa aku kan juga suka bikin kerajinan keset.”
Tak hanya itu, Grace pun memiliki cara tersendiri untuk berkomunikasi dengan ayahnya yang selain tak bisa melihat juga sulit mendengar.
“Kalau misalkan ruangannya lagi berisik banget, sangat tidak kondusif, walaupun papaku pakai hearing aids, aku tulis kata-kata di telapak tangannya. Huruf besar semua, ditulis satu per satu, jadi papaku bisa nangkep aku tulis apa,” ia memaparkan. “Selain itu, kalo misalkan ruangannya emang cukup kondusif untuk diajak ngomong langsung, ya ngomong langsung sih, tapi pelan-pelan gitu. Jadi kalo ngomong ke tunarungu tuh bukan kencang-kencang suaranya tapi lambat-lambat, dan artikulasi pembicaraannya jelas.”
Lingkungan yang Inklusif
Lingkungan di sekitar keluarga kecil ini pun rupanya berinteraksi dengan baik dengan orangtua Grace. Tak jarang, mereka juga membantu saat Grace tidak dapat melakukannya, sahabat D’Impact.
Kepada tim D’Impact, Grace berkisah, “Dulu, pas aku kecil, kalau Papi pergi mijat di tempat yang jauh-jauh, ada ojek langganan, dan sekarang juga udah ada ojek online kan. Papi bisa pesen sendiri ojek online-nya. Kadang juga ada orang yang bantu pesanin ojek, kalau suasananya lagi berisik banget, misalnya di pinggir jalan raya. Bahkan ada juga orang yang ngajak Papi bareng sampai ke rumah. Sebelumnya, orangnya telepon sama aku gitu, ngomong, ‘Ini papanya nggak bisa dipesanin ojek. Sama saya aja.’ Terus nanya rumahnya di mana, lalu Papi dianterin. Banyak orang di lingkungan kita juga yang inisiatifnya lumayan besar ya dan baik, jadi langsung nyamperin Papi terus kayak, ‘Mau ke mana, Pak? Mau saya bantu tuntun ke mana?’”
Kerap, orang-orang di lingkungan tersebut juga mengajari Grace kecil cara membantu orangtuanya dengan lebih baik lagi.
“Pas aku umur 8 apa 9 gitu kita suka pergi setiap hari Sabtu ke gereja. Aku bantu nyeberangin kita bertiga, untuk naik angkot,” ia mengenang. “Ya awal-awal takut sih. Jalan raya yang mau diseberangin gede-gede, rame dan double. Terus ada salah satu teman gereja Mami yang bantu ajarin aku untuk nyeberang gimana caranya. Ya dari situ latihan sih. Jadi aku paling kiri, kananku mamaku, kanannya lagi baru papaku, supaya fokusku cukup di 1 sisi aja.”
Berempati Sejak Kecil: Sebuah Keistimewaan
Semua hal yang Grace alami dan pelajari sejak kecil ini membuatnya tak hanya mahir berinteraksi dengan teman-teman disabilitas, sahabat D’Impact, tetapi juga berempati dengan mereka.
Bahkan, bagi Grace, pengalaman interaksi dengan disabilitas yang berlimpah ini adalah suatu keunggulan. Pasalnya, “Aku bisa mengenal lingkungan disabilitas dengan lebih, dan nggak semua anak-anak tuh dapat. Teman-temanku yang bukan dari lingkungan disabilitas merasa lingkup disabilitas itu adalah lingkup yang jarang mereka sentuh, jarang yang mereka tahu. Sementara aku, karena aku tumbuh langsung dengan papa-mamaku dan sering interaksi dengan komunitas disabilitas, jadi aku lumayan tahu banyak, dan ya banyak sebenarnya insight yang bisa didapetin juga.”
Meskipun demikian, teman-teman sekolah Grace dulu sempat mencicipi privilege ini, sahabat D’Impact.
“Puji Tuhan, Tuhan kasih teman-teman yang sangat mendukung, dan nggak pernah sih aku di-bully Karena kedua orangtuaku. Mereka malah amazed gitu. Kayak, ‘Wow keren ya,’” kenang perempuan berusia 24 tahun yang sempat menekuni olahraga basket ini. “Karena kalau kerja kelompok mereka kan suka datang ke rumah gitu, dari SD, SMP, sampe SMA. Ya dari situ kan teman-teman makin kenal Papi-Mami. Terus Papi-Mami kan juga mandiri di rumah. Mereka ngerjain apa-apa sendiri, dan itu dilihat sama temanku, dan dari situ temanku kayak, ‘Oh ternyata tunanetra tuh bisa ya ngelakuin hal ini sendiri.’”
Perjuangan Masih Panjang
Kedekatan dan empati dengan kaum disabilitas ini menyadarkan Grace akan banyak hal yang masih perlu diperbaiki di masyarakat, sahabat D’Impact.
Kesadaran akan kebutuhan dan potensi kaum disabilitas adalah salah satu hal yang ingin ia perjuangkan, baik secara personal maupun lewat PetaNetra.
Mengajak teman-teman non-disabilitas mencari tahu langsung dari teman-teman disabilitas adalah salah satu solusinya bagi tantangan ini. Sebab, “Kayak yang aku bilang, mereka nggak dekat dengan teman-teman disabilitas, jadi tahunya cuma dari sumber-sumber nggak langsung, dan akhirnya jadi meng-underestimate teman-teman disabilitas.”
“Menurutku teman-teman disabilitas banyak banget kok yang hebat-hebat gitu, dan banyak banget yang aku temuin yang bisa berkontribusi lebih, do something back to the society. Dan sebenarnya mereka sangat mendiri dan memiliki tekad yang besar dalam diri mereka masing-masing,” paparnya, melanjutkan. “Cuma kadang-kadang orang non-disabilitas tuh banyak yang mindset-nya adalah ngasihani. Sebenarnya kan teman-teman disabilitas nggak perlu dikasihani. Jangan underestimate mereka juga. Jadi kalau emang mau bantu, jangan bantu yang cuma kasih uang aja tapi bantu biar mereka bisa lebih maju gitu.”
Sahabat D’Impact, demikian kilas balik lintasan hidup Grace Gabrielle yang menginspirasi dirinya hingga sekarang. Semoga kisah yang ia bagikan ini pun dapat menginspirasi sahabat D’Impact. Salam inklusi!