Dalam dekade-dekade terakhir ini, banyak perusahaan – terutama bank dan asuransi – yang memasarkan produknya melalui jalur telepon.
Pernahkah sahabat D’Impact bertanya-tanya siapa orang di ujung seberang telepon yang bertugas memasarkan produk dengan cara demikian? Seperti apa sebenarnya teknis di balik telemarketing atau telesales dan ragam orang yang berkecimpung di dalamnya?
Di artikel berikut, yuk telusuri bersama jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut lewat sudut pandang seorang tunanetra yang pernah menggeluti pekerjaan ini.
Pasukan Agen Penawaran Produk lewat Telepon: Tak Semuanya Berpenglihatan
Sahabat D’Impact yang berbagi pengalamannya kali ini adalah Aini Dhuha Hidayah, yang biasa disapa Ai. Ia penyandang penglihatan terbatas/low vision yang sempat bekerja di bagian telesales di suatu bank swasta Indonesia selama 7 bulan.
“Kami bekerja dalam tim. Dalam setiap tim ada kurang-lebih 20 orang dan 6 di antaranya adalah penyandang tunanetra,” jelas perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah ini. “Di tempat saya bekerja ada 6 tim, jadi kurang-lebih ada 30-40 penyandang tunanetra.”
Ia mengaku tak ada perlakuan khusus yang diterapkan kantor kepadanya serta tunanetra yang lain selama bekerja. Meskipun demikian, ada penyesuaian yang diberikan, yakni penggunaan komputer berpembaca layar untuk membantu mereka membaca dan mencatat data.
Perihal rutinitasnya sebagai agen telesales, Ai menjabarkan, “Kami datang ke kantor jam 07.00 pagi, kami briefing dan berdoa bersama, dan kemudian kami mulai bekerja tepat di jam 08.00 pagi. Pekerjaan yang kami lakukan adalah menelepone nasabah pengguna kartu kredit atau pengguna tabungan Bank tersebut untuk kami tawarkan produk tabungan kami.”
Mengenai hubungan kerjanya sendiri dengan rekan-rekan di bagian telesales, terutama yang non-disabilitas, Ai dengan senang hati mengakui, “Relasi kami sangat baik. Bahkan tempat kerja saya sangat terkenal dengan kekompakkannya, terlebih khusus di tim saya.”
Tantangan Ganda: Melakukan Penawaran Produk lewat Telepon sebagai Tunanetra
Ai mengakui bahwa ia sempat kesulitan saat pertama-tama bekerja, terutama saat mengoperasikan komputer sembari bertelepon dengan orang-orang yang dituju.
“Yang menjadi kesulitan bagi saya saat awal mula bekerja adalah ketika saya harus menghafal script,” ungkapnya pada tim D’Impact. “Sebagai penyandang tunanetra, bukan hal yang mudah, berbicara dengan nasabah sambil membaca script dan mengoperasikan komputer dan mendengarkan suara pembaca layar.”
Namun, lantaran terus berlatih dan berlatih, kesulitan ini pun terlampaui, Sahabat D’Impact. Apalagi, seperti yang dikatakan Ai sendiri, “Saya juga punya kawan-kawan yang baik, yang selalu membantu membacakan script ketika saya online dengan nasabah.”
Tak hanya itu, Ai pun rupanya sempat menggunakan tulisan Braille untuk membantunya bekerja.
Namun, di samping tantangan pribadi, bekerja selama 9 jam sehari sambil berkejaran dengan target pemasaran pun seringkali terasa sebagai cobaan. Ai bahkan mengakui bahwa mencapai target pemasaran agar bisa mendapatkan upah penuh di akhir bulan adalah tantangan terbesarnya dalam pekerjaan ini.
“Semuanya tergantung dari nasabah, mau atau nggak,” tuturnya. “Kalau soal penjelasan, saya lakukan sebisa saya, dan sabar-sabar kalaupun ada nasabah yang galak. Kalaupun harus ngejelasin kekurangan produk, ya pintar-pintarnya kita ngejelasin kekurangan itu aja, tapi dengan bahasa yang lebih halus gitu. Bukan kita bilang ‘kekurangan dalam produk ini’.”
Kiat Sukses Seorang Agen Telesales
Menyalurkan bakat, kecenderungan atau hobi adalah salah satu kiat terampuh dalam memilih pekerjaan. Ai pun merasakan hal ini, sahabat D’Impact. Gadis yang tunanetra sejak lahir karena kelainan bentuk mata ini mengakui, “Saya suka bicara, jadi saya merasa di kantor ini lah saya bisa mengarahkan kecerewetan saya ke dalam hal yang positif.”
Namun, menurutnya, gemar bicara bukan satu-satunya bekal yang perlu dimiliki seorang agen telesales, baik yang non-disabilitas maupun yang disabilitas.
“Menurut saya, untuk melakukan penawaran produk tidak cukup hanya dengan modal pintar bicara, tapi juga harus menguasai produk yang akan kita jual,” ujar Mahasiswi semester 5 jurusan Sastra Indonesia di Universitas Pamulang ini. “Kita harus tahu kurang-lebihnya produk tersebut.”
Kemudian ia menegaskan, “Yang paling penting, untuk menawarkan produk itu tidak boleh baper (bawa perasaan/sakit hati) dengan penolakan nasabah, dan harus bisa menebak apa yang kira-kira mereka maui.”
Semua usaha ini tak luput dari teamwork di balik layar, sahabat D’Impact. Good rapport dengan nasabah saat terjun langsung pun sangat diperlukan.
“Momen yang sangat berkesan bagi saya adalah ketika saya pertama kali bisa closing deal dengan nasabah,” kenang Ai, bahagia. “Nasabah saya sangat baik, dan kawan-kawan setim dan SPV (supervisor) saya juga tidak kalah baiknya. Tim saya selalu membimbing setiap anak baru agar bisa closing.”
Sahabat D’Impact, semoga penuturan Ai di atas dapat membawa insight bagi kita semua, terutama saat menghadapi tantangan serupa dalam hidup kita masing-masing. Salam sukses!