Nedi Supriadi

Sahabat D’Impact, di artikel sebelumnya kita sudah mengetahui tentang etos kerja Nedi Supriadi yang membuatnya menjadi mandiri dan berhasil. Nah, dalam artikel berikut, mari kita syimak bersama latar belakang pria tunadaksa ini, dan apa yang telah dilakukannya untuk membantu sesama.

Menjadi Penyandang Disabilitas Bukan Akhir Segalanya

Sahabat D’Impact, Nedi lahir 38 tahun silam di pedalaman kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pada umur 7 tahun, mendadak ia mengalami demam tinggi. Spontan, orangtuanya membawa Nedi kecil ke mantri kesehatan.  Maklum, saat itu belum ada dokter dan puskesmas di kampungnya.

Setelah menjalani pengobatan, kesehatan Nedi tidak kunjung membaik. Kakinya malah menjadi lemas dan tidak bisa digerakkan. Orangtuanya habis-habisan membiayai pengobatannya, tetapi akhirnya Nedi harus kehilangan kekuatan otot di kedua kakinya.

Kendati demikian, Nedi masih bersemangat untuk bersekolah, sahabat D’Impact. Ia menempuh perjalanan hampir 2 kilometer dari rumah ke sekolah dengan caranya sendiri.

“Saya berjalan dengan merangkak dari rumah ke sekolah, beruntung ada kakak kelas yang kadang suka menggendong saya. Namun sejak kelas 4 SD, saya memutuskan untuk mandiri, berjalan sendiri ke sekolah. Agar lutut tidak terasa sakit karena tergesek batu atau tanah, saya membantalinya dengan sandal,”  kenang Nedi, awal November 2024.

Berbakti kepada Orangtua Bisa Dilakukan Siapa Saja

Selulus SD, Nedi nekad merantau ke kota Cianjur. Saat itu usianya belum genap 14 tahun. Tujuannya adalah ingin bekerja untuk meringankan beban orangtuanya.

“Saya pergi tanpa pamit pada keluarga. Saya ingin bekerja untuk meringankan beban orangtua. Saya kasihan melihat ibu yang sering sakit, dan ayah yang sudah habis-habisan membiayai pengobatan saya hingga  keluarga mengalami kesulitan ekonomi. Apalagi, orangtua harus membiayai 4 adik saya yang masih kecil,” paparnya.

Dalam perantauannya dari kota Cianjur, Cileungsi hingga Jakarta, kehidupan Nedi jatuh-bangun. Ia sempat ditipu oleh  orang yang disangkanya ingin berbuat baik, tetapi ternyata malah mencuri uangnya. Namun demikian, di balik kemalangannya, masih ada orang-orang yang peduli dan tulus menolongnya. Tekadnya pun tak pernah sirna.

Pria yang pernah dikira sudah tidak ada oleh keluarganya tersebut, berbekal  keterampilan dan semangat bajanya, kini mendulang sukses. Ia sempat pulang ke kampung halamannya, dan saat itu ibunya terkejut sekaligus terharu melihat kedatangannya.

“Orangtua senang mengetahui kehidupan saya yang kini lebih baik meskipun saya memiliki kekurangan fisik,” ujarnya.

Semangat Berkarya, Semangat Berbagi dengan Sesama

Ihwal keterampilannya mengutak-atik barang elektronik seperti yang dipaparkan di artikel sebelumnya, Nedi mempelajari hal ini saat bersekolah di sebuah panti tunadaksa di Cengkareng, Jakarta Barat. Di sana, ia bukan hanya menjadi terampil elektronika, tetapi juga termotivasi oleh teman-temannya sesama tunadaksa.

“Di panti itu banyak tunadaksa yang kondisinya  tidak seberuntung saya. Meskipun tidak memiliki kaki, saya masih mempunyai tangan. Sementara mereka tidak punya kaki dan tangan, tapi semangat hidupnya masih menyala. Itulah yang mencerahkan saya,” ujarnya kepada tim D’Impact.

Bersyukur atas hal-hal yang masih ia miliki, Nedi yang kerap didaulat menjadi motivator ini juga membagikan ilmunya kepada rekan-rekannya sesama disabilitas, sahabat D’Impact.

“Saya memberikan kursus keterampilan servis handphone secara gratis kepada rekan-rekan disabilitas. Saya senang, bila hidup saya berguna dan bisa membantu orang lain,” pungkas pria yang menikah dengan perempuan non-disabilitas ini.

Demikian kisah “manusia sepotong” ini, sahabat D’Impact. Semoga berguna bagi sahabat D’Impact yang membacanya. Salam inklusi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *