Sense of Community

Sahabat D’Impact, sense of community – merasa memiliki dan dapat memberikan nilai tambah – merupakan bagian penting dari pemenuhan kesejahteraan/wellbeing seseorang, lho. (Referensi: nami.org, nih.gov) Secara sadar atau tidak sadar, kita berusaha memenuhinya dengan bergabung dalam kelompok, komunitas atau forum, baik secara online maupun offline.

Fransiskus Dwi Susanto, pendiri Indosign Academy, sebuah Lembaga penyedia pelatihan Bahasa isyarat, juga merasakannya, sahabat D’Impact. Keterpanggilan untuk berkontribusi dalam masyarakat tersebut bahkan kemudian menjadi passion dan bagian dari mata pencaharian pria Bernama panggilan Frans ini.

Bagaimana perjalanannya hingga ia mencapai titik ini? Mari ikuti dalam ulasan berikut:

Transformasi Pandangan

Frans yang berkuliah di jurusan Filsafat Teologi mengenal dunia disabilitas melalui tugas kampus yang mau tidak mau harus ia jalani. Namun, sesuatu yang sedianya keharusan tersebut tak lama kemudian berubah menjadi ketertarikan dan passion tersendiri baginya, sahabat D’Impact.

“Pada Hari Disabilitas Internasional, Bapak Uskup Agung Jakarta waktu itu membuka diri seluas-luasnya bagi disabilitas untuk hadir, terlibat dan bertumbuh bersama di dalam Keuskupan Agung Jakarta. Ini tonggak yang sangat bersejarah,” ia menuturkan. “Dan dari sana saya berkembang juga untuk menjalin jejaring dengan komunitas-komunitas disabilitas atau pemerhati disabilitas yang lainnya.”

Penggemar dan penggiat dunia teater ini mengaku kagum terhadap para penyandang disabilitas yang baru dikenalnya kala itu. “Mereka berinteraksi dalam keterbatasan tapi sekaligus juga dengan segala kelebihan mereka. Contoh impresi saya ketika bertemu teman-teman tuli: Kita ada jarak cukup jauh kurang lebih 7 sampai 10 meter mungkin ya, tetapi bahkan saya tidak perlu bersuara keras, mereka tetap bisa melihat bibir saya dan terjadi komunikasi yang sangat intens. Jadi walaupun mereka punya keterbatasan pendengaran tetapi mata mereka cukup tajam.”

Ia melanjutkan, “Ketertarikan saya pada dunia disabilitas itu yang akhirnya membuat saya extend tugas pendampingan karya sosial saya. Walaupun tugas saya hanya setahun, tapi saya memperpanjang pelayanan saya selama 3 tahun. Di akhir kuliah saya, saya juga mengambil skripsi tentang lembaga pelayanan disabilitas yang saya dampingi ini, karena saya sungguh terkesan  dengan pelayanan ini.”

Ada Usaha, Ada Jalan

Menjadi “orang baru” di komunitas mana pun tidaklah mudah. Pria kelahiran 10 September 1979 ini pun mengalaminya, sahabat D’Impact. Apalagi, ia tertarik bergaul lebih dalam lagi dengan para penyandang disabilitas rungu wicara, yang menyebut diri teman tuli.

Karena teman tuli memiliki bahasa mereka sendiri, Frans berusaha pertama-tama dengan mengikuti pelatihan bahasa isyarat yang digelar selama 3 bulan. Ketika hasil pelatihan tersebut dirasa tak banyak membantunya untuk berkomunikasi dengan teman tuli, ia lantas berimprovisasi.

“Saya dibantu dengan hobi saya bermain teater Dimana gestur, ekspresi, mimik dan seterusnya itu sangat menunjang berkomunikasi dengan teman-teman tuli,” ia mengungkapkan. “Maka ya puji Tuhan kesulitan itu bisa pelan-pelan diatasi, sambil saya terus menambah kosa isyarat sehingga semakin nyambung nih komunikasi saya dengan mereka.”

Tak hanya dalam berkomunikasi, Frans pun mendapati bahwa dunia teman tuli adalah dunia yang kompleks dan perlu dipelajari, sahabat D’Impact. Ia mengakui, “Memang penerimaan teman-teman tuli terhadap pelayanan saya bervariasi. Ada yang sangat mendukung tapi juga tetap ada perbedaan pendapat dan pandangan. Apalagi, setelah saya mempelajari tentang kondisi internal teman-teman tuli yang terkait juga dengan kondisi fisik mereka, mereka kurang mudah untuk cepat mempercayai orang lain gitu, dan kurang cepat untuk menerima pengetahuan.”

Namun, semua hal yang diperjuangkan dan dilaluinya ini dirasa sangat berhikmah baginya. “Pemahaman saya tentang dunia tuli itu memperluas hati saya untuk menerima keberagaman teman-teman tuli sendiri,” ujarnya pada tim D’Impact.

Selangkah Lebih Jauh

Tak hanya untuk mengobrol dengan teman-teman tuli saja, kemampuan berbahasa isyarat yang makin dikuasainya dipakai pria yang mengaku juga gemar “mengobrol dengan diri sendiri” alias menyendiri ini untuk menjadi penjembatan komunikasi antara “orang tuli” dan “orang dengar.”

“Ini sejalan dengan hobi saya dengan teater, seni peran, seni gerak, sehingga ya saya merasa enjoy aja membawakan bahasa isyarat walaupun kosa isyarat saya pada awalnya masih sangat terbatas,” katanya mengenai pekerjaan yang tak sengaja ditekuninya ini.

Tak banyak keuntungan secara materi yang ia peroleh, bahkan tidak ada sama sekali pada awalnya. Namun, ia sangat merasakan sense of community ketika berpartisipasi secara aktif seperti ini. Apalagi, “Ketika ada teman-teman yang merasa paham, ‘dong’, ngerti, wah itu sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya: Dapat menyampaikan suatu pesan yang rumit, yang sulit, tetapi bisa dipahami dengan cepat oleh teman-teman tuli. Bagi saya, itu sebuah kegembiraan, apalagi ketika ini mampu merubah masa depan mereka, kehidupan mereka, kesejahteraan mereka, wah itu juga rasa syukurnya luar biasa.”

Sense of community inilah yang mendorongnya untuk terus menjadi juru bahasa isyarat (JBI) sambil juga menggeluti pekerjaan lain. Bahkan, kini ia sudah menelurkan JBI-JBI baru, melalui kiprah Indosign Academy yang akan diulas di artikel berikutnya.

Bagaimana, sahabat D’Impact, tertarik menjadi Frans-Frans berikutnya?

Bagi sahabat D’Impact yang tertarik, Frans ingin menyampaikan insight yang ia sendiri peroleh selama ini: “Bagi teman-teman yang baru bergabung dengan teman-teman disabilitas khususnya teman-teman tuli, kalau ada tutur kata, penyampaian, pembawaan, sikap yang kurang berkenan atau kurang tepat, coba pahami dulu dunia mereka, jadi jangan cepat baperan, jangan cepat emosian karena mungkin teman-teman tuli punya keterbatasan atau pilihan bersikap, berkata-kata atau bertindak, karena juga dipengaruhi oleh keterbatasan.”

Semoga sahabat D’Impact pun dapat merasakan sense of community yang memperkuat wellbeing, sama seperti Frans. Salam inklusi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *