Hybrid Working

Sahabat D’Impact, sistem kerja hybrid working sudah ada sejak lama, tetapi sekarang makin digemari, dan banyak pula perusahaan yang menerapkannya. Menurut sejumlah studi, fenomena ini terjadi karena banyak karyawan merasa bahwa hybrid working berpengaruh positif bagi wellbeing, baik secara perseorangan maupun komunitas. (Referensi: Gallup, LinkedIn)

Saya yang berdisabilitas netra total dan sulit bermobilitas juga mengambil banyak manfaat dari sistem kerja ini, termasuk dalam hal wellbeing. Meskipun demikian, beradaptasi dengan berbagai ragam pola kerja campuran ini serta mengoptimalkan kesempatan yang ada ternyata memerlukan trik-trik tersendiri, seperti:

1. Mengatur Jadwal untuk Melepas Stres

Pengalaman bekerja secara hybrid saya yang pertama adalah pada tahun 2019, usai bekerja secara on site di suatu sekolah luar biasa untuk tunanetra dan secara remote sebagai project manager untuk suatu perusahaan penerjemahan di Singapura. Saat itu, atmosfer hybrid working belum begitu terasa, lantaran para karyawan – yang jumlahnya pun tak banyak – hanya bertemu sebulan sekali. Pertemuan secara daring pun belum diadakan, dan komunikasi antar karyawan hanya menggunakan chat di ponsel saja.

Ketika pandemi Covid-19 merajalela, pertemuan hijrah ke jalur daring dan dibuat menjadi 2 kali seminggu. Tekanan mulai muncul, karena harus mempersiapkan update untuk dibawakan dalam rapat setiap 3 hari, dan mengatur ritme kerja agar serupa. Namun, tekanan benar-benar terasa Ketika saya berpindah ke Perusahaan lain dan Perusahaan tersebut mengharuskan karyawannya berkantor 2 kali seminggu.

Setiap kali berpindah system kerja, saya menyesuaikan diri dengan apa adanya. Kali ini pun demikian. Namun, semakin lama, saya semakin kewalahan dan stress terasa semakin menumpuk, meskipun masih memiliki waktu 3 hari di rumah. Tekanan tersebut baru berkurang Ketika saya mulai rutin berolahraga lagi saat work from home (WFH), dan menemukan cara-cara relaksasi lain. Akhirnya, saya membuat file di Microsoft Word dan mengalokasikan waktu untuk berbagai hal yang perlu dilakukan selama WFH, termasuk stress-release. Menaati jadwal tersebut meringankan beban saya, mengingatkan saya akan apa yang perlu dikerjakan selanjutnya, dan memudahkan saya untuk menikmati kelebihan-kelebihan yang ditawarkan hybrid working.

2. Menyapa di Sini, Menyapa di Sana

Selain mengatur waktu agar dapat melepas stress, bersosialisasi di mana pun ternyata juga sangat penting dalam hybrid working, sahabat D’Impact. Tradisi saling sapa dengan ceria di kantor yang baru mengajarkan saya yang introvert ini untuk membuka diri, dan merasa tidak sendirian karenanya.

Saya tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan kontak langsung untuk hidup dengan baik. Namun, saat itu, setelah lama bekerja secara remote dan mostly remote, saya menyadari bahwa kontak secara daring saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ini. Setelah berkilas balik pada pekerjaan on site yang pernah saya geluti yang bersifat rutin serta transaksional, saya pun mendapati bahwa interaksi di luar pekerjaan di tempat kerja juga sangat penting dan menambah kualitas kontak.

Setelah memperoleh insight tersebut, saya berusaha sebaik-baiknya untuk tidak hanya bersosialisasi saat berkantor saja tetapi juga saat berada di rumah. Apalagi, hybrid working memberikan saya kelenggangan waktu sebelum dan setelah bekerja yang biasanya dihabiskan dalam perjalanan. Saya bertukar sapa dengan tetangga selagi berjemur di pagi hari, juga dengan karyawan minimarket serta penjual makanan saat jalan-jalan sore. Saya tidak bisa memulai pembicaraan – tidak dapat melihat siapa yang hendak saya ajak bicara, atau apakah orang tersebut ada di sana – tetapi semua interaksi yang berhasil dijalin memiliki arti tersendiri.

3. Penyegaran Maksimal di Mana Saja

Insight dari kedua poin di atas menyadarkan saya bahwa ada banyak variasi lokasi, interaksi dan suasana yang bisa diperoleh melalui hybrid working. Variasi tersebut memudahkan seseorang untuk berpikir secara out of the box, sementara pekerjaan saya kala itu memang memerlukan kreativitas yang cukup tinggi. Karena itu, saya memutuskan dan berusaha untuk menjalani setiap momen dengan sepenuh hati.

Setiap berada di lokasi atau suasana yang baru, saya meresapi atmosfer yang ada – be in the moment – tanpa gangguan selama minimal 5 menit. Kemudian saya mengerjakan apa yang perlu dikerjakan dengan sudut pandang yang sudah tersegarkan Kembali lewat ambience tersebut. Karena itu, saya selalu membawa laptop, alat tulis braille beserta kertasnya dan/atau ponsel bertombol fisik yang memudahkan saya untuk mengetik catatan ke mana pun saya pergi.

Sahabat D’Impact, sama seperti sistem kerja lainnya, hybrid working memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Namun, jika kita bisa menyiasati atau mencari alternatif untuk kekurangan-kekurangan yang ada, saya percaya kekurangan tersebut bisa menjadi kelebihan tambahan. Semoga trik-trik di atas dapat bermanfaat!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *