Berkawan dengan Gangguan Mental

Sahabat D’Impact, berbagai macam gangguan mental merajalela sejak pandemi Covid-19 (Sumber: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20220513/2739835/pandemi-covid-19-memperparah-kondisi-kesehatan-jiwa-masyarakat/) karena beragam sebab, mulai dari masalah sosial sampai ekonomi. Tak jarang, gangguan yang dialami mereda setelah berkonsultasi dengan praktisi kesehatan mental dan masalah awal teratasi. Namun, pandemi hanya salah satu sebab dari gangguan mental, dan kasus gangguan mental sudah tercatat sejak dahulu.

Bagaimanakah cara seseorang hidup dengan gangguan mental dan bahkan berhasil? Jeffrey Lim, B.Comp., M.C.S. hendak berbagi kisahnya mengenai hal ini dalam artikel berikut:

Akar Gangguan

Jeffrey remaja adalah anak yang tergolong nakal dan jahil, tapi cukup disukai oleh teman-temannya. Ia bahkan menjadi ketua angkatan pecinta alam, dan menjadikan keindahan alam yang dinikmati bersama teman-temannya sebagai ajang healing di tengah konflik keluarga.

Namun, perjalanan hidup berikutnya tidaklah semulus ini. Tahun 1998, ia menerima tentangan dari ayahnya saat ia memutuskan untuk berkuliah S1 jurusan Teologia di Institut Reformed yang sekarang menjadi Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Internasional (STTRII). Ayahnya pun kerap kali memarahinya.

Jeffrey menjadi sering stress hingga sering keluar kelas dan menyendiri di kamarnya. Pikirannya kacau, dan ia menjadi emosional. Delusi serta halusinasi pun mulai muncul. Saat berkonsultasi dengan psikiater, ia didiagnosa menyandang Schizoaffective Disorder. Selain itu, ia juga didiagnosa Bipolar 1.

Di tengah-tengah cobaan ini, Jeffrey bersyukur karena teman-teman dan dosennya selalu menghibur dan mendoakan dirinya. Nilai-nilainya dalam perkuliahan pun tetap baik.

Sayangnya, setelah 1 tahun, Jeffrey terpaksa harus menuruti keinginan orangtuanya agar ia berkuliah di tempat lain. Ia cuti akademis dari Institut Reformed, lalu berangkat ke Sydney untuk mengambil kuliah S1 di University of Technology, Sydney ( UTS ) di jurusan Computer Science.

Tersandung Batu yang Sama

Di kampus UTS, Sydney, nilai-nilainya termasuk salah satu yang paling bagus dari semua, sehingga ia menjadi percaya diri dan merasa tidak “sakit” lagi, dan memutuskan untuk tidak meminum obat yang diperuntukkan bagi gangguan mentalnya selama 6 bulan. Akan tetapi, tak dinyana, gangguan tersebut kambuh. Ia pun dibawa ke psikiater dan mendapatkan terapi serta pengobatan.

Setelah melalui beragam rintangan, Jeffrey akhirnya berhasil lulus pada tahun 2003 dengan gelar Bachelor of Computing. Namun, ia tidak ingin berhenti sampai di situ saja. Ia merasa terpanggil untuk masuk ke salah satu seminari (sekolah kependetaan). Saat menunggu pembukaan pendaftaran seminari selama 6 bulan, ia bekerja sebagai programmer di sebuah Gereja.

Sayangnya, saat itu, ibunya memintanya berhenti minum obat, lantaran tidak ingin ia menjadi terlalu gemuk karena obat-obatan tersebut. Ia menuruti permintaan Ibunya, dan mendapati bahwa gangguan mentalnya kambuh lagi. Ia pun harus mengorbankan kesempatan kuliahnya di seminari. Alih-alih masuk seminari, ia melanjutkan kuliah teologia-nya yang sempat tertunda di Institut Reformed. Perjalanan kuliah S2 teologia di Institut Reformed diselesaikan dalam waktu yang cukup panjang dan ada beberapa kali keluar masuk.

Sejak saat masuk kembali ke Institut Reformed itu, gejala-gejala gangguan mentalnya acapkali naik ke permukaan.

Bahkan gangguan tersebut sempat merundungnya sepanjang perkuliahan sejak tahun 2012 hingga 2014. Tentang hal ini, psikiater hanya dapat menganjurkan agar ia minum obat-obatan yang sudah diresepkan secara berkala. Sebab, berdasarkan pengalaman, berkali-kali ia hendak lepas obat, berkali-kali itu juga ia kambuh.

Namun, berbekal dukungan dari para dosen dan komunitas, Jeffrey berhasil lulus S2 jurusan Teologia dengan gelar Magister of Christian Studies pada tahun 2014 meskipun masih sedang dirundung kambuhnya gangguan mental. Oleh karena itu, ia mengambil kesimpulan bahwa, dengan penerapan medis tahap dasar yang diimbangi kasih serta support system yang baik dari komunitas, juga penguasaan diri dan disiplin kerohanian, gangguan mental yang disandangnya dapat terkontrol dengan baik. Dan, terbukti, hingga kini gangguan tersebut tak pernah kambuh yang parah lagi.

Prestasi Gemilang dari Penyintas Gangguan Mental

Ketika ditanyakan tim D’Impact apa sajakah pencapaian dirinya yang paling berkesan, dengan lugas Jeffrey  menjawab, “Lulus S1, lulus S2 (walaupun sangat panjang perjalanannya), beberapa kali menang di dalam kompetisi programming kristen yaitu tahun 2017 2 kali dan tahun 2020 1 kali, mengerjakan proyek aplikasi studi Alkitab yang cukup lengkap sampai ada fitur bahasa asli Alkitab di mana saya mobile developer-nya.”

Dan, masih dengan berapi-api, ia menambahkan, “Membuat buku Terang Allah di Tengah Kegelapan, mendirikan Nepho Ministry yaitu pelayanan konseling dan doa kepada orang-orang dengan gangguan kesehatan mental, dan mengadakan seminar-seminar kesehatan mental via Zoom semenjak tahun 2021. Seminar tanggal 3 April 2024 dihadiri oleh 690 peserta Zoom dengan judul Seeing with New Eyes : Mental Illness and Grace.”

Meskipun sudah banyak prestasi yang diraihnya, Jeffrey ingin memberikan sesuatu yang lebih kepada baik kehidupannya sendiri maupun orang lain. Karena itu, ia terus menggeluti sejumlah pekerjaan hingga kini, yakni: “Mobile developer di Reformed 21, mengajar coding, dan pelayanan Nepho Ministry ke orang-orang dengan gangguan kesehatan mental.”

Di tengah semua cobaan yang dialaminya, sejumlah hal yang dikatakan Jeffrey kepada dirinya sendiri untuk membawanya keluar dari cobaan-cobaan tersebut adalah: “Tetap berharap, berdoa dan beriman bahwa rancangan Tuhan adalah rancangan damai  sejahtera, bukan rancangan kecelakaan. Tetap berjuang dan mengandalkan anugerah Tuhan. Segala sesuatu indah pada waktunya. Ritme hidup harus sesuai dengan ritme Tuhan. Jangan takut untuk vulnerable tetapi rangkulkan kelemahan mu. Ketika aku lemah aku kuat karena anugerah Tuhan. Mulia bagi Tuhan.”

Sahabat D’Impact, tidak ada yang tidak mungkin jika kita selalu berusaha dan mengimbanginya dengan berdoa dan mengelilingi diri kita dengan support system yang baik, seperti yang telah dibuktikan oleh Jeffrey. Gangguan mental sekalipun bukanlah halangan bagi seseorang untuk mencapai harapan serta cita-citanya.

Semangat selalu, dan salam sukses!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *