Sense of Wellbeing

Sahabat D’Impact, di artikel lalu, Frans Dwi Susanto bercerita bagaimana ia sampai jatuh hati terhadap dunia disabilitas, hingga akhirnya menekuni belajar dan mempraktikkan bahasa isyarat. Nah, rupanya, tak hanya ingin mensejahterakan dirinya sendiri, Frans pun ingin “menularkan” sense of wellbeing yang dikecapnya kepada orang lain, baik disabilitas maupun non-disabilitas.

Bagaimana cara pria berumur 44 tahun ini melakukannya? Mari ikuti ulasannya berikut:

Cobaan yang Membawa Berkah

Pandemi Covid-19 yang merajalela beberapa waktu lalu adalah cobaan bagi semua orang, dan berimbas di segala sektor pekerjaan ataupun usaha. Semua pekerjaan dan usaha Frans pun terdampak. Namun, di tengah kesulitan besar ini, pekerjaannya sebagai juru bahasa isyarat (JBI) malah makin menonjol, karena, “Kebutuhan teman-teman disabilitas tuli semakin meningkat.”

“Saya pernah membuka kafe. Saya pernah menjadi sales. Dan yang saya geluti itu juga menjadi seorang konsultan untuk pengembangan sumber daya manusia dan juga organisasi. Untuk itu saya mengajar di beberapa korporasi,” ia berkisah tentang hal ini. “Tapi sejak pandemi banyak jadwal-jadwal mengajar saya di-postpone, ditunda, di-cancel dan seterusnya. Maka kegiatan berbahasa isyarat – entah itu menjadi juru bahasa isyarat atau pendampingan studi – makin berkembang.”

Dan layanan tersebut pun berbuah manis, sahabat D’Impact! Frans bercerita, “Ada teman tuli yang saya dampingi. Awalnya dia jadi juru parkir di sebuah tempat, lalu tinggal di panti asuhan. Kemudian dia belajar komputer, dan saya di situ terlibat sebagai penerjemahnya. Dan ternyata skill itu juga memberikan dia nilai tambah di tempat pekerjaannya, sehingga ya puji Tuhan berkat-Nya sangat berlimpah untuk sahabat tuli saya ini.”

“Menularkan” Sense of Wellbeing secara Resmi

Keberhasilan yang sangat memuaskan hati ini mendorong Frans untuk berusaha lebih bagi teman tuli. Ia pun ingin “menularkan” sense of wellbeing yang ia rasakan kepada orang lain, sahabat D’Impact. Untuk memenuhi kedua hal tersebut, mantan seminaris ini membuat organisasi yang berfokus pada bahasa isyarat.

Perihal lembaga ini, ia menuturkan, “Secara khusus, bendera perusahaan kami itu PT Aksesindo Performa Resources. Di dalamnya ada namanya Indosign Academy, untuk penyediaan edukasi, pelatihan dan penyediaan juru bahasa isyarat. Nah ini memang terkait dengan pendampingan teman-teman tuli. Tujuannya: menjadikan bahasa isyarat budaya bersama, dan menciptakan kesejahteraan yang setara dan inklusif bagi teman-teman disabilitas, utamanya teman-teman tuli, supaya mereka bisa berdikari, mandiri, punya nilai tambah,.”

Perjalanannya tak mudah, bahkan sejak pendirian Indosign Academy, tetapi ia pantang menyerah. “Saat memulai ya ada juga perbedaan pandangan baik dari orang dengar maupun orang tuli tentang lembaga yang saya dirikan. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, puji Tuhan, muncul kesadaran bahwa kesadaran inklusi atau kesejahteraan yang setara itu tidak bisa dilaksanakan oleh satu dua pihak saja tapi betul-betul perlu kolaborasi dengan berbagai pihak,” ungkapnya. “Maka di sini kita tidak melihat lembaga yang mungkin punya layanan yang sama sebagai kompetitor tetapi sebagai kolaborator. Yang dimenangkan ujung-ujungnya harusnya adalah teman-teman disabilitas, bukan kepentingan ego lembaga masing-masing.”

Lebih jauh, Frans membeberkan, “Saya juga berhadapan dengan warga masyarakat yang masih harus banyak diedukasi. Persepsi masyarakat terhadap peran atau profesi juru bahasa isyarat juga masih identik dengan layanan sosial, maka tidak ada standar remunerasi yang bisa dijadikan patokan,  jadi kita masih banyak berjalan berdasarkan idealisme.”

Penyuka travelling ini pun mengakui, “Strategi secara khusus untuk sosialisasi dan marketing masih cukup kurang, lebih banyak dari mulut ke mulut. Maka saya harus belajar banyak dan menggandeng banyak pihak supaya bahasa isyarat ini menjadi kebutuhan bersama.”

Buah Berbagi

Namun, di luar tantangan-tantangan tersebut, banyak pula pencapaian yang makin menguatkan sense of wellbeing Frans.

Kepada tim D’Impact, ia menuturkan, “Puji Tuhan, banyak juga pihak-pihak yang sangat menghargai profesi kami dan mengakui bahwa bahasa isyarat salah satu bahasa yang cukup sulit dan oleh karenanya layak untuk dihargai secara material. Dan sekarang semakin banyak bermunculan JBI-JBI baru yang semakin menambah jejaring untuk sama-sama melayani.”

Perihal poin kedua dalam penuturannya tersebut, ia melanjutkan, “Puji Tuhan, sejak pandemi, akhirnya saya bersama teman-teman tuli mencetak juru bahasa isyarat baru. Mereka awalnya memang melayani di gereja, tapi sekarang sudah cukup banyak terlibat dalam pelayanan umum untuk disabilitas tuli. Ada yang mendirikan komunitas berbasis kesehatan yang setara, lalu mereka juga tergabung dalam komunitas-komunitas layanan bahasa isyarat untuk pelatihan-pelatihan keterampilan dan seterusnya.”

“Penularan”-nya juga berhasil dalam segi lain, sahabat D’Impact. “Klien juga bertambah banyak, mulai dari kementrian, lembaga pemerintahan, NGO, sekolah, rumah sakit,” ujarnya, lantas menjelaskan, “Rumah sakit cukup banyak, karena mereka juga butuh kerjasama dengan lembaga-lembaga bahasa isyarat untuk akreditasi.”

Ketika ditanya perihal reaksi para peserta pelatihan bahasa isyarat, Frans bercerita, “Mereka sangat kagum, sangat apresiasi dan sangat terkejut, karena dunia tuli begitu berbeda dengan dunia kita orang dengar. Banyak pengandaian-pengandaian yang menurut mereka baik tapi kurang diterima, contohnya panggilan ‘teman-teman Tuli’. Mereka sebelumnya banyak memanggil ‘disabilitas rungu wicara’, ‘Tunawicara’, ‘bisu’, karena mereka pikir itu adalah panggilan yang paling halus, yang paling tepat, tapi tidak bagi teman-teman Tuli. Mereka tetap mau dipanggil ‘tuli’. Lalu saya jelaskan, ‘tuli’ itu adalah komunitas dengan budaya yang berbeda, tidak lagi melihat kekurangan fisik.”

Kepada para peserta pelatihan, Frans juga selalu menyampaikan insight berikut: “Bahasa isyarat itu bukan hanya berarti kita mampu berisyarat dengan Tuli saja, tetapi juga mampu meningkatkan kemampuan komunikasi non-verbal kita. Karena semakin kita menggerakkan seluruh channel komunikasi kita, bukan hanya verbal atau oral tapi juga ekspresi, gestur, mimik, body language, daya tarik kita dalam berkomunikasi makin meningkat, daya pengaruh juga meningkat.”

Wah, seru, ya, sahabat D’Impact? Memenuhi sense of wellbeing sambil meningkatkan skill dan memperluas networks.

Apakah kita bisa melakukannya juga? Why not?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *