Tim DEI

Sahabat D’Impact, artikel lalu banyak membahas sepak terjang tim Diversity, Equity and Inclusion (DEI) di suatu perusahaan, dengan beragam tantangan serta pencapaiannya. Di artikel berikut, Melissa Sim, manajer tim DEI sebuah perusahaan multinasional, akan berbagi tentang tim DEI itu sendiri.

Bagaimana cara melandaskan terbentuknya tim DEI yang kokoh? Bagaimana cara memilih cakupan serta program-program yang dijalankan terkait inklusi dan keberagaman serta kesetaraan? Apakah keberadaan tim DEI dapat menjadi investasi sosial perusahaan bagi karyawan dan bahkan masyarakat sekitar? Mari simak jawabannya di bawah ini, sahabat D’Impact!

Inklusivitas dan Keberagaman: Landasan Budaya Perusahaan

Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa fondasi yang kokoh akan menopang bangunan yang kokoh pula. Rupanya, hal tersebut pun berlaku dalam pembentukan tim DEI di suatu perusahaan, sahabat D’Impact, termasuk di Perusahaan ini.

Visi dan nilai-nilai perusahaan merupakan fondasi sekaligus penggerak misi perusahaan. Dan, menurut Melissa, perusahaan tempatnya bekerja selama 15 tahun ini memiliki fondasi yang mumpuni terkait perwujudan inklusi, kesetaraan dan keberagaman.

“Sejak kita pertama kali berdiri, kita sudah punya filosofi perusahaan. Yang pertama ada dari segi employee, kemudian ada dari segi shareholder, dan ada dari segi society at large,” ia menerangkan. “Jadi dari dulu kita selalu melihat karyawan kita adalah salah satu pilar kita yang paling penting, dan selalu ada strategi bagaimana kita bisa men-develop people-nya kita.”

Namun, meskipun fondasi sudah mumpuni, tetap diperlukan personel khusus serta aksi nyata untuk memelopori perwujudan nilai-nilai yang sudah ada. Oleh karena aitu, dibentuklah tim DEI, yang juga merupakan tanda komitmen Perusahaan terhadap pentingnya inklusi, kesetaraan serta keberagaman.

Lebih jauh, Wanita kelahiran Jakarta yang dibesarkan di kota Surabaya, Jawa Timur ini menerangkan, “Jadi bukan hanya sekedar employee tahu kita ada nilai ini tapi employee benar-benar mengerti ini tuh apa, koneksinya ke mereka tuh sendiri seperti apa, benefit-nya tuh seperti apa, juga bisa lebih relate – maksudnya, ‘Oh oke, pada waktu aku menjalankan ini, aku berarti juga menjalankan filosofi perusahaan.’”

Sasaran sebagai Pendorong Keberhasilan

Perihal pemetaan cakupan tim yang ia pimpin, Melissa mengungkapkan bahwa ia berpatokan pada satu sasaran besar yang selanjutnya bisa dikerucutkan. Sasaran tersebut terbagi dalam 2 sisi, sahabat D’Impact, yakni karyawan dan pimpinan.

Dari sisi karyawan, Melissa berharap bahwa program-program timnya dapat, “Mengajarkan bagaimana mereka menghargai keberagaman, sehingga mereka bisa menghargai ide-ide apa pun yang berbeda dari temannya. Jadi employee akan merasakan lingkungan mereka safe untuk mereka speak up dan share their ideas, sehingga mereka berasa, ‘Aku tuh ter-empower lho, aku tuh bisa berkontribusi dengan otonomiku kepada company.’”

Terkait jajaran manajemen perusahaan, goal Melissa adalah, “Dengan program-program DEI, kita berusaha membentuk leaders yang inklusif, yang menjadi role model buat para timnya untuk menjalankan filosofi perusahaan, khususnya nilai-nilai DEI-nya, sehingga dapat lebih menginspirasi, memotivasi tim untuk bekerja dengan lebih baik lagi.”

Menilik Isu-Isu Fokus Tim DEI

Ketika ditanya bagaimana cara memetakan fokus tim DEI di perusahaan ini, Melissa memaparkan, “Pada waktu kita memilih isu-isu ini, kita melihat dari data karyawan, terutama yang kelihatan sekali seperti gender dan generation. Misalnya, sudah ada berapa banyak Gen-Z, Gen-X, Gen-Y di satu function. Kita lihat juga dari pulse survey yang kita adain setahun 2 kali. Di sana kita mengukur sudah sampai mana sih progress-nya DEI kita itu. Kita juga melihat langsung kelompok-kelompok underrepresented atau minoritas mana sih yang secara experience-nya terlihat ada gap-nya dengan teman-teman mayoritas.”

Perihal cara pemetaan isu yang ketiga, Melissa mencontohkan. “Misalnya, kalau kita pergi ke pabrik, yang berhubungan dengan mesin-mesin besar, bawa-bawa barang yang berat-berat, secara natural biasanya lebih banyak pria-pria yang bekerja di sana. Memang ada female, tapi female-nya itu somehow kecil sekali jumlahnya, walaupun kita selalu meng-encourage supaya ada female, jadi akhirnya mereka minoritas di lingkungan pabrik.

Ia lantas melanjutkan, “Nah, bisa juga di suatu function banyak sekali teman-temannya yang senior, sehingga akhirnya dia yang mungkin baru lulus kuliah merasa sendirian pada waktu masuk – ‘Kok semua temanku bapak-bapak dan tante-tante?’”

Isu-Isu yang “Unik tapi Nyata”

Tak hanya isu gender dan generasi, tim DEI juga sejak beberapa waktu lalu mengulik isu disabilitas. Perihal ini, Melissa mengungkapkan, “Kalau kita mau melihat di sekeliling kita, sebenarnya kan banyak banget ya teman-teman disabilitas, tapi kan juga banyak stigma-stigma negatif dari disabilitas. Jadi bagaimana supaya kita bisa menghilangkan stigma-stigma negatif dan lebih banyak orang lebih merasa comfortable, ter-support, meskipun mereka itu disabilitas di company kita.”

Namun, tak hanya kaum minoritas yang disasar tim DEI, sahabat D’Impact. Orangtua yang bekerja di Perusahaan ini pun digali dan ditilik kebutuhannya. Pasalnya, “Sebagai seorang parent, baik itu sebagai ayah ataupun ibu, mereka itu biasanya akan punya beban yang jauh lebih berat, karena mereka kan punya double role, di kerjaan dan di keluarga mereka. Nah, jadi, bagaimana kita itu bisa men-support mereka supaya mereka itu bisa mem-balance kedua role mereka itu.”

Selain itu, “Ada juga program-program kita yang mendukung peraturan pemerintah. Misalnya, di tahun lalu, ada Undang-Undang TPKS – tentang kekerasan seksual.”

Seperti apa penerapan dan pengukuran pencapaian program-program inklusi dan keberagaman serta kesetaraan di perusahaan ini? Seperti apa bekal Melissa dalam menggerakkan program-program tersebut? Mari temukan jawabannya di artikel mendatang, sahabat D’Impact!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *