Program Inklusi, Kesetaraan dan Keberagaman

Sahabat D’Impact, pada artikel-artikel terdahulu, Melissa Sim, manajer tim Diversity, Equity and Inclusion (DEI) di suatu Perusahaan multinasional, telah menunjukkan peran penting program inklusi, kesetaraan dan keberagaman dalam mewujudkan budaya perusahaan yang berkinerja tinggi, juga bagaimana cara membentuk tim terkait yang solid serta memetakan isu-isu DEI. Dalam kesempatan kali ini, mari kita Simak alat apa yang digunakan tim ini untuk mengukur pencapaian-pencapaiannya, juga bekal ujung tombaknya dalam menggerakkan tim melampaui setiap milestone.

Tolak Ukur Penerapan Program Inklusi, Kesetaraan dan Keberagaman di Perusahaan

Tentunya, setiap proyek memerlukan panduan dan ukuran progress yang sudah dicapai. Tak lain halnya dengan program inklusi, kesetaraan dan keberagaman di Perusahaan ini, sahabat D’Impact.

Melissa menyebutkan, “Pada tahap awal, kita perlu memastikan semua karyawan aware dengan DEI ini. Tahap awareness tercapai Ketika seluruh jajaran dalam Perusahaan – terutama management levelsecara jujur pada diri sendiri mengakui bahwa DEI sangat penting bagi mereka dan perlu mereka terapkan. Dalam tahapan ini, para pelaku DEI juga perlu menetapkan sasaran-sasaran yang ingin mereka raih, yang bersifat mengerucut dan taktis.”

Melissa pun menekankan bahwa, seiring dengan meningkatkan awareness di dalam Perusahaan, sasaran-sasaran yang sudah ditetapkan juga perlu diterapkan di Tingkat kebijakan, peraturan dan persyaratan yang diterbitkan Perusahaan. Ketaatan terhadap goals ini kemudian dapat digunakan untuk meningkatkan diri ke goals yang lebih besar lagi, atau merambah ke goals lain di luar DEI.

Suatu Perusahaan dikatakan sudah memiliki nilai DEI yang terintegrasi dengan baik bila pimpinan maupun karyawan sudah tidak perlu lagi didorong oleh peraturan terkait inklusi, kesetaraan dan keberagaman. Dalam tahapan ini, mereka sudah mencetuskan dan menjalankan sendiri inisiatif-inisiatif terkait DEI dengan sepenuh hati, sahabat D’Impact. Komunitas akar rumput dan employee resource groups (ERG) sudah bermunculan dan makin menjamur.

Namun, usaha-usaha serta komunitas-komunitas ini harus terkoordinir satu sama lain agar perkembangan DEI di suatu Perusahaan tidak timpang. Strategi top-down dari pimpinan dan inisiatif bottom-up dari karyawan pun perlu diselaraskan. Untuk itu, perlu ada standardisasi dan strategi yang jelas, juga koneksi antar bagian dalam Perusahaan.

Selanjutnya, jika DEI sudah mandarah-daging dalam Perusahaan, bertahan meskipun para penggerak awal sudah tidak bekerja di Perusahaan tersebut, maka Perusahaan dapat dikatakan telah mencapai tahap akhir, yaitu sustainability.

Harapan Besar, Pekerjaan Besar

Terkait Tingkat maturasi DEI di Perusahaan tempatnya bekerja, Wanita Milenial yang banyak berurusan dengan Gen-Z ini mengakui, “Kita masih banyak berkutat di tahap awal – awareness – hingga pelaksanaan program-program: Bagaimana kita berusaha membuat semua orang aware pentingnya DEI itu apa, dan mereka bisa understand DEI itu apa melalui program-program yang kita berikan.”

Berdasarkan alat ukur yang sama, ia menyimpulkan, “Perjalanan panjang berikutnya adalah bagaimana merubah program-program itu menjadi movement. Dari movement itu diharapkan bisa menjadi culture. Jadi, harapannya, dengan berbagai macam effort yang kita bisa lakukan, semua orang akhirnya punya yang namanya value DEI, mindset DEI di dalam diri mereka, jadi idealnya nggak bergantung lagi sama Department DEI untuk melakukan engagement atau melihat cara kerja mereka. Mereka bisa melihat dari policy-policy yang ada, apakah itu fair atau nggak, apakah itu inclusive atau nggak, apakah kita itu tidak mendiskriminasi seseorang.”

Salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan hal ini yang dialami Melissa beserta timnya hingga sekarang adalah: “Sebenarnya DEI itu kan bukan suatu topik yang common di masyarakat Indonesia. Banyak istilah-istilah yang masih baru buat mereka. Istilah disability aja, kita tuh musti ngajarin ke mereka, disability tuh apa. Atau yang kemarin itu, misalnya micro-exclusion tuh apa, micro-aggression tuh apa.”

Bekal Penggerak Tim DEI

Dalam menghadapi tantangan dan perjalanan Panjang terkait perwujudan inklusi, kesetaraan dan keberagaman di Perusahaan tempatnya bekerja, Melissa mengakui bahwa pengalaman yang telah ia peroleh selama kurang lebih 15 tahun bekerja di perusahaan ini dalam beragam divisi dan posisi sangat membantu. “Karena dari pengalaman-pengalaman yang sebelum-sebelumnya, aku kan pasti akan ketemu orang yang beragam. Dan tanpa aku sadari, aku sebenarnya sudah terbekali dengan perspektif orang yang berbeda-beda. Jadi aku terbantukan dari sana untuk mengerti misalnya orang-orang yang bekerja di pabrik itu profile-nya seperti ini, cara bekerjanya seperti ini. Berbeda profile dan cara berpikirnya dengan mereka yang bekerja di kantor.”

Selain dapat melihat sudut pandang dari divisi-divisi yang akan didukung timnya, Melissa pun merasa bahwa pengalaman kerjanya selama ini sangat membantu dalam hal jejaring yang ia jalin. “Karena kan pada waktu kita berpindah-pindah, pasti kita kenal banyak orang. Jadi pada waktu aku di DEI, misalnya aku mau me-roll out suatu program itu ya terbantukan jadinya, karena ngomongnya lebih gampang, karena aku udah lumayan kenal sama orang-orang misalnya yang di manufacturing.”

Above all, keinginan semua pihak terkait untuk menyambut inklusi, kesetaraan dan keberagaman adalah kunci sukses penerapan program-program DEI, sahabat D’Impact. So, siap ikut menerapkan DEI dalam kehidupan sahabat D’Impact? Good luck dan salam inklusi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *