
Sahabat D’Impact, banyak yang percaya bahwa rasa empati dan kebersamaan dapat “ditularkan” melalui berbagi cerita satu sama lain. Orang yang sedang membagikan kisah pengalamannya dapat memberikan contoh baik, penguatan atau pencerahan lewat kisah tersebut kepada mereka yang menyimak. Medianya pun bisa bermacam-macam, mulai dari obrolan secara langsung hingga konten di blog atau media sosial.
Hal inilah yang ingin dimanfaatkan manajer tim saya setelah kami mendapatkan insight dari tugas saya yang sebelumnya. Namun, meskipun terkesan sederhana, perjalanan yang saya lalui cukup menantang diri.
Melampaui Diri Sendiri
Seperti yang telah saya ungkapkan di artikel sebelumnya, saya seseorang yang introvert. Tak jarang pula saya merasa tidak percaya diri, atau menganggap hal-hal yang telah saya lakukan atau capai biasa-biasa saja. Karena itu, saya biasanya enggan menulis atau berbicara tentang pengalaman pribadi saya untuk dikonsumsi khalayak umum.
Perasaan ini pernah saya hadapi sebelumnya, ketika atasan di perusahaan yang lama meminta saya untuk membagikan sejumlah pengalaman di blog perusahaan. Kini saya menghadapinya kembali, dengan tambahan bahwa orang-orang yang membaca dapat berinteraksi langsung dengan saya di kolom komentar. Meskipun begitu, saya sejatinya setuju dengan manajer tim ketika beliau berkata, “Kamu kan pekerja disabilitas. Kamu juga kerja di sini. Teman-teman bisa langsung connect dengan kamu karena itu. Mereka bisa langsung lihat aplikasinya juga, bukan cuma teori.”
“Ini kan tugas dan passion kamu,” imbuh hati saya sendiri, mengingatkan. Dan, terdorong oleh hal-hal tersebut, saya mulai belajar tentang seluk-beluk media sosial internal perusahaan, di mana saya akan berbagi cerita.
Mengambil Contoh, Memberikan Contoh
Walaupun sudah mulai memahami seluk-beluk media sosial kantor, berkat bantuan beberapa rekan dari tim lain yang meng-handle platform ini, saya tak kunjung meluncurkan postingan perdana. Saya masih ragu dan cemas, dan membiarkan diri terbenam dalam tugas-tugas lain.
Kemudian manajer tim mengagas “meet-and-greet” luring dengan saya sebagai pekerja disabilitas di divisi kami, dengan alasan, “Kurang afdol kalau belum ketemu langsung. Kalau cuma online kan rasanya flat gitu.”
Selama ini, divisi kami memang biasanya bertemu secara daring setiap minggu sekadar untuk mengobrol tentang hal-hal di luar urusan kantor. Pertemuan luring belum pernah dilakukan karena batasan-batasan akibat pandemi Covid-19, tetapi kini kami sudah mendapatkan izin untuk bertemu secara langsung.
Entah mengapa, saya merasa bersemangat alih-alih cemas, walaupun manajer tim berkali-kali mengingatkan bahwa saya harus berbagi pengalaman pribadi di sini. Beliau pun berulang kali bertanya apakah saya merasa oke dengan hal itu, dan jawaban saya selalu, “Ya.”
Syukurnya, acara berjalan lancar, dan saya merasa makin akrab dengan teman-teman sedivisi. Saya lebih bersyukur lagi ketika manajer tim memberikan contoh untuk saya dengan menulis tentang kegiatan ini di media sosial. Saya tidak harus jadi yang pertama dalam berbagi pengalaman demi disability awareness di forum ini! Saya pun merasa tersulut untuk mengikuti jejak beliau, apalagi ketika melihat komentar-komentar hangat dan menyemangati dari tak sedikit pembaca konten.
Menjadi Contoh
Postingan perdana saya terkait kampanye kesadaran akan disabilitas ini berisikan perkenalan diri, juga cara saya bekerja sebagai seorang tunanetra. Konten ini ternyata dilihat banyak orang dan bahkan menuai banyak komentar hangat serta menyemangati, serupa tulisan manajer tim saya. Sungguh tak disangka! Pasalnya, selama ini media sosial internal perusahaan tidak begitu digubris para karyawan, sehingga konten-konten yang ditulis di sana pun tak mendapat banyak respon.
Rekan yang bertanggungjawab atas platform ini ikut antusias, dengan alasan yang sedikit berbeda. “Selama ini, kalau mau dapat respon banyak, ya harus pakai embel-embel dapat hadiah,” ia menerangkan. “Nah, tulisanmu kan nggak ada hadiahnya, tapi viewer-nya sama comment-nya banyak. Ini bisa jadi bukti kalau kita nggak perlu harus selalu keluar uang supaya orang-orang tertarik sama tulisan kita!”
Saya ikut bahagia mendengarnya, sekaligus takjub dan humbled akan betapa bersemangatnya teman-teman seperusahaan untuk mengenal saya. Dan, berkat pengalaman ini, saya merasa tidak hanya “memberikan contoh” dengan berbagi sekelumit hidup saya. Saya pun mengambil hikmahnya, yaitu bahwa keragu-raguan dapat membatasi kita dari kesuksesan, dan apa yang kita anggap biasa atau kecil bisa jadi berguna bagi orang lain.
Semoga pengalaman ini pun sekarang dapat bermanfaat bagi sahabat D’Impact!
Di artikel berikutnya, saya akan berbagi pengalaman tentang langkah selanjutnya dalam kampanye kesadaran akan disabilitas ini. So, if you wish to know more of it, stay tuned!