Berempati dengan Rekan Setim

Tidak ada kesuksesan yang bersifat kebetulan. Namun, sahabat D’Impact, saya merasakan sendiri bahwa jalan menuju kesuksesan tersebut bisa jadi tidak terduga. Hal ini salah satunya bermula ketika saya berempati dengan rekan setim yang kewalahan dengan beban kerjanya saat itu. Selanjutnya? Sungguh tidak direncanakan atau terprediksi.

Berempati dengan Rekan Setim

Kala itu, saya sudah cukup menguasai teknologi yang digunakan sehari-hari di kantor. Tugas pertama saya pun sudah rampung, sementara tugas kedua dan ketiga sudah berjalan dengan cukup lancar. Selanjutnya, saya berharap dapat belajar lebih banyak lagi, juga menggali pengalaman dan wawasan.

Sementara itu, saya memperhatikan dan tersadar bahwa rekan setim yang selama ini bekerjasama dengan saya dalam pembuatan konten forum tengah kewalahan. Ia harus mewawancarai 10 karyawan yang juga orang tua, di sela-sela tugas lain yang jauh lebih banyak jumlahnya dari saya.

Saya bersimpati dengan workload tersebut, mengingat sejumlah periode di perusahaan yang lama di mana workload saya pun serupa. Kemudian saya berpikiran untuk membantu rekan setim tersebut, meringankan bebannya, sama seperti ketika rekan-rekan di perusahaan yang lama menolong saya. Saya pun berpikir, “Mungkin ini kesempatan baru untuk mencari pengalaman?”

Memperjuangkan Dampak yang Positif

Gagasan ini lantas saya bawa ke manajer tim, yang ternyata menyambut baik usulan tersebut dan mengajak rekan setim untuk berdiskusi bersama. Dalam diskusi, kami pun sepakat bahwa kesempatan ini berkemungkinan dapat membantu program peningkatan kesadaran akan dunia disabilitas.

“Wah, sekali jalan, dapat semua!” saya berpikir, dan merasa makin bersemangat untuk menjalankan gagasan ini. Semangat saya kian terpupuk sementara rekan setim dan saya mempersiapkan proyek mini ini. Dan, semangat inilah yang mendoron saya untuk merangsek maju saat menghadapi tantangan yang bermunculan ketika proyek mulai bergulir.

Keinginan Saja Tidak Cukup

Sudah lama saya tidak mewawancarai seseorang secara lisan. Hal ini baru terpikirkan oleh saya ketika kami mengelar wawancara pertama, sementara saya menyimak cara rekan saya membawakan sesi tersebut. Rasa panik dan cemas muncul dalam hati saya, perlahan namun pasti, apalagi mengingat bahwa saya harus membawakan sesi-sesi berikutnya sendiri. Parahnya lagi, saya seorang introvert dan sama sekali tidak mengenal nama-nama karyawan yang hendak diwawancarai.

But the show mus tgo on. Akhirnya, saya berguru kepada rekan setim perihal tips and tricks membawakan wawancara secara luwes dan bermanfaat.

Namun, rupanya, ada hal lain yang sedianya perlu saya pelajari sebelum membawakan sesi wawancara sendiri. Hal ini baru kami temukan sementara saya menggelar wawancara kedua: Saya lambat dalam membacakan pertanyaan dan menuliskan jawabannya. Rekan saya yang pertama menyadarinya, sementara ia bertindak sebagai penyimak di sesi tersebut, sesuai permintaan saya yang belum percaya diri.

Mencari Solusi Bersama

Kami membicarakan masala ini seusai wawancara. Ia mengatakan bahwa kesunyian pewawancara saat sesi berlangsung dapat membuat orang yang diwawancarai merasa tidak nyaman. Saya setuju dengannya. Namun, saya juga menjelaskan bahwa saya harus menunggu aplikasi pembaca layar membacakan pertanyaan untuk saya sebelum saya sendiri dapat membacakannya.

Ia lantas menawarkan untuk mengambil alih tugas ini, atau menuliskan jawaban orang-orang yang diwawancarai. Namun saya menolak tawaran ini, dan berjanji akan mencari cara agar awkward silences lenyap sama sekali di sesi-sesi berikutnya.

“Kan maunya berempati dengan rekan setim, bukannya menyusahkan? Aku sudah cukup menyusahkan dia sekarang ini,” pikir saya. “Lagipula, kalau tugas ini kulepas, kapan lagi aku berlatih? Kapan lagi aku berkesempatan beritneraksi one-on-one dengan karyawan lain sebagai pekerja disabilitas?”

Berkat dorongan ini, saya membuat rencana sendiri dan berlatih keras sebelum sesi wawancara berikutnya. Hasil sesi tersebut saya gunakan untuk berefleksi dan memperbaiki diri untuk sesi selanjutnya, terus sampai kedelapan sesi wawancara rampung.

Buah Hasil berempati dengan Rekan Setim

Tak luput, setiap karyawan yang saya wawancarai terkejut tetapi menyambut baik kehadiran saya yang tunanetra di perusahaan dan sebagai pewawancara mereka. Beberapa di antara mereka bahkan merasa penasaran.

Salah satu karyawan yang saya wawancarai bahkan balik mewawancarai saya tentang ketunanetraan saya dan cara saya bekerja! Lama seusai wawancara pun, kami kerap bertukar sapa dan sesekali mengobrol di sela-sela pekerjaan masing-masing.

Saya girang sekali akan hasil yang tak terduga ini. Apalagi, semua wawancara berasil dirampungkan dengan memuaskan, meskipun awalnya tak mudah. Lengkap rasanya: Saya berhasil menolong meringankan beban kerja seorang teman, berhasil membawakan kesadaran akan disabilitas selangkah lebih maju, dan punya teman baru!

Banyak pula wawasan, pengalaman dan keterampilan yang saya peroleh dari pengerjaan proyek mini ini, yang saya utarakan ketika mempresentasikan rangkuman hasil wawancara kepada tim. Salah satunya adalah kenyataan bahwa karyawan perusahaan ini sebenarnya menyambut baik kehadiran pekerja disabilitas, tetapi masih memiliki tingkat disability awareness yang rendah.

Manajer tim bahkan menggarisbawahi insight tersebut, dan terlahirlah tugas saya yang berikutnya. Apakah tugas tersebut? Mari simak di artikel berikutnya, sahabat D’Impact!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *