Kerjasama dalam Tim

Sahabat D’Impact, kata-kata “Nobody lives in a bubble” (“Tidak ada orang yang hidup dalam gelembung”) tak jarang muncul, bukan? Termasuk dalam topik-topik seperti kerjasama dalam tim, motivasi untuk mengubah diri menjadi lebih baik, dan sebagainya.

Manajer tim menekankan konsep ini kepada saya dengan memberikan tugas yang kedua, setelah saya melampaui tugas pertama yang bersifat individu. Dalam hal ini, saya harus bekerjasama dengan seorang rekan setim dalam memproduksi konten untuk forum internal perusahaan secara berkala: Saya yang menulis caption dan isi poster untuk konten forum tersebut, sementara rekan saya yang membuat serta menayangkan poster.

Melalui tugas ini, saya belajar banyak hal, baik yang bersifat self-improvement, teknis, maupun kolaboratif, di antaranya:

1. Niat dan Persiapan Saja Tidak Cukup

Di perusahaan sebelumnya, juga di pekerjaan-pekerjaan sebelumnya, saya sudah terbiasa bekerjasama dalam sebuah tim berukuran 2 sampai 15 orang. Meskipun demikian, terdapat unsur-unsur yang belum pernah saya jalani sebelumnya dalam tugas ini, baik dalam segi teknis maupun kolaboratif.

Secara teknis, saya belum pernah mengulik perihal inclusive leadership seperti yang dibahas dalam forum internal perusahaan ini. Saya pun belum pernah menulis caption dan isi poster, walaupun sudah pernah mempelajari serta mempraktikkan hal tersebut di kursus. Dan, perihal kerjasama dalam tim, saya belum pernah harus memperhitungkan beban kerja yang kompleks dan tinggi ketika menetapkan jadwal mingguan.

Alhasil, di awal kolaborasi antara kami berdua, tak jarang terjadi keterlambatan atau bahkan miskomunikasi, meskipun jadwal sudah ada. Salah satu penyebab hal ini adalah seringnya saya harus merevisi konten yang sudah saya buat, baik pengantar pposter maupun isinya. Penyebab lainnya adalah kesulitan mencari waktu yang kadang saya atau rekan setim alami karena tugas mendadak yang perlu segera dikerjakan.

Bagi saya, melihat permasalahan yang muncul, komunikasi yang rutin, tepat waktu dan terbuka adalah “tali penyelamat” bagi usaha kolaboratif ini. Pengetahuan akan keterbatasan dan beban kerja masing-masing juga sangat penting, karena dari situ muncul pengertian dan bahkan pencarian solusi bersama.

2. Setiap Orang Dapat Belajar dari Siapa Saja

Pelajaran lain yang saya petik adalah bahwa kita dapat belajar dari siapa saja sepanjang proses pemenuhan tugas atau bahkan setelahnya. Saya belajar dari rekan setim yang seorang pemagang tentang cara membuat konten yang menarik tetapi padat, singkat, jelas dan actionable. Saya pun belajar dari manajer tim tentang pemberian tugas “selangkah di atas” yang menantang saya tetapi tidak membuat kewalahan. Dan saya juga belajar dari reaksi anggota forum tentang konten mana saja yang mereka sukai serta anggap bermanfaat.

Ternyata, mereka pun mengaku menyukai serta belajar banyak dari konten-konten yang kami tayangkan, terutama yang terkait dengan dunia disabilitas. Senang sekali rasanya, dapat membagikan sesuatu yang dirasa bermanfaat oleh orang lain!

Melihat reaksi teman-teman di forum, partner saya dalam tugas ini juga mengaku ia belajar dari kolaborasi kami. Salah satunya adalah cara menjelaskan dan memberi contoh kepada seorang tunanetra total seperti saya. “Nggak pakai gambar, nggak pakai PPT, pakai Word saja, simpel,” katanya.

Ketika menilik ke belakang, saya menyadari bahwa kerjasama dalam tim mungkin terlihat mudah, tetapi belum tentu demikian pada kenyataannya. Namun, seperti apa pun kenyataannya, hasil kolaborasi yang baik akan berbuah ganda baiknya.

Selanjutnya, manajer tim menugasi saya untuk semakin “memecahkan gelembung,” dengan cara berkolaborasi dengan tim lain, meskipun di divisi yang sama. Pengalaman ini akan saya bagikan di artikel berikutnya. Bagi sahabat D’Impact yang tidak ingin ketinggalan, yuk subscribe ke blog ini!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *