Sahabat D’Impact, teknologi yang canggih atau bahkan sama sekali baru tak jarang dijumpai sekarang ini, bukan? Bagi yang kurang tech-savvy, beradaptasi dengan teknologi tersebut bukanlah hal yang mudah. Bahkan, terkadang, mengoperasikan teknologi yang “biasa-biasa saja” sudah merupakan tantangan besar.
Saya adalah salah satu orang yang termasuk kurang tech-savvy. Apalagi, sebagai tunanetra, saya harus mengandalkan aplikasi pembaca layar untuk mengoperasikan ponsel, komputer dan gadget lainnya. Namun, pekerjaan saya di perusahaan yang baru mengharuskan saya untuk dapat mengoperasikan sejumlah aplikasi yang sama sekali baru bagi saya. Mengingat kala itu pandemi Covid-19 masih merajalela dan kegiatan kerja banyak yang dilakukan secara online, kebutuhan ini makin mendesak.
Tantangan yang Tidak Terduga
Tantangan berbasis teknologi yang saya hadapi terasa semakin besar di hari pertama saya bekerja di kantor yang baru ini. Pasalnya, laptop kantor yang akan saya gunakan ternyata belum dilengkapi dengan aplikasi pembaca layar.
Manajer tim membantu saya menghubungi tim IT dan menanyakan tentang hal ini. Dan, rupanya, aplikasi tersebut masih harus dibeli, dengan proses pembelian yang masih belum tentu kapan selesainya. Sementara itu, saya harus mulai bekerja sesegera mungkin.
Mencari Jalan Lain
Solusi yang akhirnya saya dan teman-teman setim capai adalah menggunakan perangkat pribadi sampai perangkat kantor sudah dapat digunakan. Namun, hal ini pun tak terbebas dari tantangan: Ada sederetan aplikasi yang harus digunakan setiap karyawan di perusahaan tersebut, yang belum pernah diinstalasi di ponsel dan tablet saya: Microsoft Teams, Microsoft Outlook, Microsoft Authenticator, dan Company Portal.
“Tak masalah. Tinggal install saja,” kami berpikir. Namun, entah mengapa, ponsel dan tablet saya terus-menerus menolak instalasi yang berkali-kali kami coba lakukan. Bahkan 2 jam seusai jam kerja pun kami masih berkutat di masalah yang sama.
Akhirnya, karena tak ingin menyusahkan rekan-rekan yang sudah sangat berbaik hati mau membantu, saya memutuskan untuk melanjutkan usaha ini sendiri.
Berperang dengan Diri Sendiri
Ternyata, berusaha sendiri terasa lebih berat. Tidak ada pihak luar yang membantu menyemangati atau mencarikan solusi. Keluarga di rumah pun tidak mahir berteknologi.
Saya gagal, gagal, dan gagal lagi. Apps yang diperlukan selalu gagal terinstalasi, sama seperti ketika dicoba bersama teman-teman setim. Berulang kali, saya harus berhenti dan menarik nafas dalam-dalam lantaran frustrasi. Di kali lain, saya menggerutu sendiri, berdoa, atau terpaksa berhenti sejenak untuk menjernihkan pikiran atau mengerjakan hal lain.
Tak jarang, saya ingin berhenti sama sekali dan melapor kepada manajer tim bahwa saya gagal menginstalasi aplikasi yang diperlukan. “Beliau pasti mengerti. Perusahaan pasti memaklumi. Aku kan tunanetra, dan mereka juga baru mencoba mempekerjakan karyawan disabilitas. Mungkin bisa ada dispensasi sementara untuk mengerjakan pekerjaan di luar aplikasi yang sudah ditetapkan kantor?” begitu kata sebagian hati saya.
Memacu Diri
Meskipun demikian, bagian yang lain menolak mentah-mentah dan mengingatkan, “Kalau di awal saja sudah menyerah, bagaimana dengan nanti? Perjalanan masih 3 bulan lagi.”
Saya tak ingin mengecewakan baik orang yang merekomendasikan saya ke perusahaan ini maupun atasan saya yang sekarang. Saya pun penasaran mengapa aplikasi yang sedianya cukup lazim ditemui meskipun belum pernah saya gunakan selalu gagal terinstalasi.
Karena saat itu akhir pekan, saya juga menambahkan kepada diri sendiri, “Besok Senin kan ada meeting. Meeting pertama kamu di sini pula. Manajer bilang mereka sudah menunggu-nunggu mau kenalan dengan kamu. Masak mau dilewatkan gara-gara masih belum install aplikasinya? Apa kata mereka nanti?”
Memetik Hasil
Berkenalan dengan teman-teman baru menjadi iming-iming yang semakin memacu saya untuk pantang menyerah. Apalagi, manajer tim pernah mengakui bahwa mereka nervous tentang bagaimana cara berinteraksi dengan rekan kerja yang tunanetra. “Aku bisa bantu menghapus stereotype yang mungkin masih mereka miliki tentang tunanetra!” pikir saya.
Pagi-pagi hari Senin, saya mengunduh dan menginstalasi aplikasi lain sebagai pembanding, dan akhirnya menemukan akar permasalahannya! Setelah beberapa hari berkutat dengan kegagalan yang terus-menerus, kumpulan aplikasi yang dibutuhkan sudah bisa dipakai! Saya harus beradaptasi dengan layout masing-masing aplikasi tersebut, setelahnya, tetapi bagi saya tantangan berbasis teknologi yang utama telah terlampaui.
Bonusnya, teman-teman dalam rapat Senin itu ternyata menyambut kehadiran saya sebagai pekerja tunanetra dengan baik. Seiring berjalannya rapat, mereka bahkan “lupa bahwa saya tunanetra,” dan berinteraksi dengan saya sama seperti dengan rekan lain yang non-disabilitas. Mereka baru ingat ketika hendak menunjukkan gambar kepada saya, yang tentunya tidak bisa dibacakan oleh aplikasi pembaca layar.
Sahabat D’Impact, penerimaan yang tulus dan hangat ini bagi saya adalah kado untuk perjuangan saya. Hal ini pun mendorong saya untuk memberikan yang terbaik ketika menerima tugas pertama saya seusai rapat. Seperti apakah tugas tersebut? Mari simak di artikel berikutnya!
Tetap semangat ya Melisa. Raih cita – citamu.
Terima kasih banyak, Om Mitra!
I needed to thank you for this excellent read!! I certainly enjoyed every little bit of it. I have got you saved as a favorite to check out new things you postÖ