Sahabat D’Impact, seperti yang telah disingung di artikel terdahulu, persyaratan tentang perusahaan dan lingkungan kerja yang inklusif dengan penyandang disabilitas sudah ditetapkan dalam perundang-undangan. Namun, pada kenyataannya, banyak keraguan yang terjadi baik dari pihak perusahaan maupun dari pihak calon pekerja disabilitas itu sendiri.
Banyak hal yang menjadi akar keraguan ini, salah satunya ketidaktahuan. Saya sebagai tenaga kerja tunanetra ikut mengalaminya.
Keluar dari Zona Nyaman
Awalnya, saya bekerja secara jarak jauh di perusahaan start-up konsultan human resources sebagai penulis artikel sekaligus blog manager. Pekerjaan ini cocok dengan hobi dan keahlian saya sebagai penulis, dan tidak memerlukan mobilitas tinggi. Bagi saya, lingkungan kerja ini sudah inklusif.
Setelah 3 tahun bekerja, atasan saya menghubungi saya untuk menawarkan kesempatan kerja baru. Rupanya, sebuah perusahaan rokok multinasional sedang berusaha membuat lingkungan kerjanya lebih inklusif terhadap pekerja disabilitas, dan karenanya berniat “terjun langsung.” Saya tidak pernah menyangka akan mendapatkan tawaran ini, atau berkesempatan bekerja di perusahaan besar.
Rasa ragu dan agak takut langsung mencuat. Pasalnya, saya belum pernah bekerja di perusahaan besar baik secara langsung maupun jarak jauh, apalagi yang multinasional. Seorang teman pun pernah bercerita tentang tak menyenangkannya ditugasi menjadi resepsionis meskipun tunanetra total. Terlebih lagi, ada pula yang pernah mengeluh bahwa ia hanya duduk-duduk saja di kantor, tidak menerima tugas apa-apa. Dan, ketika ditanya, ia mengakui bahwa orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan pekerja disabilitas.
Melihat hal-hal tersebut, saya sangsi dan bertanya-tanya: Apakah saya akan dapat bekerja dengan maksimal di perusahaan yang baru? Apakah saya akan merepotkan baik pendamping pribadi maupun teman sekerja ketika sedang WFO? Apakah kehadiran saya di sana hanya untuk memenuhi kuota sesuai perundang-undangan? Apakah saya akan menerima tugas yang sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan saya?
Akhirnya, tawaran tetap saya terima, tetapi saya berusaha menekankan poin yang terakhir kepada atasan saya kala itu. Saya pun berharap bahwa poin tersebut juga disampaikan kepada calon atasan di perusahaan yang baru. Saya melakukan ini karena, meskipun kontrak yang ditawarkan berjangka pendek, saya berharap mendapatkan pengalaman yang baik dalam jangka waktu tersebut.
Berbagi Ekspektasi
Leganya saya ketika atasan yang baru menghubungi saya secara pribadi, beberapa waktu sebelum hari pertama saya bekerja di perusahaan tersebut. Beliau rupanya hendak memastikan bahwa seluruh tugas baru yang akan diberikan akan didiskusikan dengan saya terlebih dahulu. Beliau tahu saya seorang penulis, sehingga beliau berkata bahwa tugas-tugas pertama saya adalah menulis terkait dunia disabilitas atau inklusivitas.
Selanjutnya, beliau mengutarakan bahwa karyawan masih masuk kantor hanya 2 kali seminggu lantaran pandemi yang kala itu masih merajalela. Kemudian beliau menawarkan saya untuk masuk hanya semingu sekali saja jika merasa kesulitan bolak-balik ke kantor.
Saya sangat menghargai tawaran ini, karena rumah saya berada di pinggir kota sementara kantor berada di tengah kota. Namun, tawaran ini tidak saya terima, sebab saya merasa masih sanggup melakukan commuting 2 minggu sekali. Alih-alih masuk semingu sekali, saya meminta pemakluman untuk waktu kedatangan selama saya beradaptasi dengan cara serta waktu berangkat. Mengingat infrastruktur kantor belum ramah tunanetra, saya pun memerlukan bantuan seseorang dari kantor untuk memandu hingga ke tempat kerja. Dan atasan mengiyakan, bahkan berjanji akan berkoordinasi dengan tim keamanan dan keselamatan kerja untuk menggandeng saya hingga ke tempat kerja!
Hal ini membuat saya merasa sangat terakomodir, dan terpacu untuk memberikan sesuatu yang lebih. Karena itu, saya lantas mengutarakan bahwa pengalaman kerja saya tidak hanya di bidang menulis: Saya juga dapat menerjemahkan teks atau audio berbahasa Indonesia ke bahasa Inggris dan sebaliknya, membuat acara, dan lain-lain.
Saya pun mengungkapkan bahwa saya senang belajar hal-hal baru, meskipun mungkin terkendala jika hal tersebut terkait dengan teknologi. Pasalnya, saya bergantung hampir sepenuhnya pada apakah aplikasi pembaca layar dapat membacakan hal yang dituju kepada saya. Dan atasan saya tersebut mendengarkan, bahkan menjanjikan akan memperlengkapi laptop yang disediakan kantor dengan pembaca layar yang biasa saya gunakan.
Bagi saya, hal ini sudah merupakan awal yang baik dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif terhadap penyandang disabilitas: Baik pemberi kerja maupun pekerja disabilitas saling terbuka serta berbagi informasi dan ekspektasi, juga siap beradaptasi.
Menghadapi realita bersama mulai dari hari pertama adalah langkah berikutnya yang bagi saya tak kalah pentingnya. Jika sahabat D’Impact ingin tahu lebih lanjut tentang hal tersebut, yuk pantau terus blog ini dan simak artikel berikutnya!