Perjuangan Shahnaz Haque

Sahabat D’Impact, di artikel lalu, Shahnaz Haque mengutarakan keyakinannya bahwa menjadi orang baik adalah suatu keharusan serta suatu perjuangan, yang ia mulai sejak kecil dan berusaha ia terapkan dalam segala segi kehidupan. Dalam artikel berikut, mari kita lihat bersama bagaimana ia mempraktikkan hal tersebut selepas kuliah hingga kini, dan hikmah serta berkah perjuangan yang ia peroleh.

Bekerja Keras dan Berjalan Lurus

Shahnaz sudah mengenal dunia kerja sejak kecil, karena orang tuanya mengharuskan ia untuk berusaha jika ia menginginkan sesuatu. Bahkan, untuk memperoleh sebuah sepeda pun, ia harus menjadi foto model cilik di sebuah majalah agar dapat perlahan-lahan membeli bagian-bagian sepeda yang kemudian ia rakit menjadi satu.

Kemandirian ini terus ia praktikkan sementara ia tumbuh dewasa. Selepas kuliah, ia bekerja di Departeman Eksplorasi Laut dan Perikanan, sehingga ilmu yang didapat di perkuliahan terpakai. Hingga sekarang pun, ia masih tercatat sebagai anggota IATPI (Ikatan Ahli Tekhnik Penyehatan dan Lingkungan Indonesia).

Selain sektor formal, Shahnaz juga melanjutkan kariernya di dunia hiburan. Namun, seperti yang dituturkannya di artikel terdahulu, layaknya kawan bicara, ia pun “pilih-pilih” dalam hal ini. Ia seorang pemain sinetron, pemain film dan pembawa acara yang senang bekerja dengan gaya hit and run, dalam arti ia memilih produksi yang tidak panjang masa kerjanya, misalnya sinetron Ramadhan atau film layar lebar.

Di samping itu, ia datang ke lokasi kerja hanya untuk bekerja, tidak mengobrol dengan orang lain. “Betul-betul datang ketemu di ruang kerja, bekerja semaksimal mungkin dengan hati yang gembira dan berbahagia, selesai, langsung pulang ke rumah,” ungkapnya.

Pilihan ini tentu membatasi ruang gerak karier dan pergaulannya. Namun, ia menilai bahwa pilihan ini pulalah yang menyelamatkannya dari gunjang-ganjing gosip. Apalagi, ia pun berkeyakinan, “Tuhan itu selalu mengajarkan kita untuk berbaik sangka.”

Penderitaan yang Berujung Kebaikan

Kehidupan pribadi Shahnaz tak luput dari cobaan dan perjuangan. Pada tahun 1991, ibunya meninggal beberapa lama setelah didiagnosa kanker ovarium. Karena itu, ketika ia menderita penyakit yang sama pada tahun 1998, yang ada di benaknya adalah kematian. Ia pun merasa malu pada Tuhan dan bertanya-tanya apakah ia sudah berguna.

Akhirnya, sementara ia menjalani pengobatan, ia juga belajar ilmu Sufi, suatu ilmu teologi, untuk menguatkan dirinya dan mendekatkannya dengan Tuhan. Hal ini terasa lebih bermakna lagi ketika ia kembali diterpa cobaan beberapa lama kemudian, ketika ayahnya meninggal, 8 bulan sebelum ia menjalin hidup bersama Gilang Ramadhan suaminya.

Dengan berpasrah pada Tuhan, akhirnya ia pun sembuh dari kanker yang dideritanya. Namun, dengan hanya memiliki 1 ovarium, ia terancam tidak bisa mempunyai anak kandung.

Kejadian Paling Berkesan di Hidup Shahnaz Haque

Ketika ditanyakan keberhasilan apa yang paling berkesan baginya, Shahnaz menjawab: “Saya nggak punya keberhasilan apa pun – ya, maksudnya sesuatu yang kayaknya spektakuler gitu, ga ada. Tapi ya saya,  kalau ditanya, pertanyaannya diubah ya: kejadian apa yang paling berkesan buat saya dalam hidup, nah itu saya baru bisa jawab: Ketika saya punya anak dalam kondisi masih treatment kanker saya. Di bawah 5 tahun sesudah pengangkatan kanker di tubuh, ada bayi-bayi yang lahir yang Tuhan kasih ke saya.” Kini, ia bahkan sudah mempunyai 3 orang anak yang dikandungnya sendiri.

Hikmah dan berkah ini Shahnaz dapatkan melalui kegigihan dan perjuangan yang tiada henti untuk menjadi orang baik. Mari kita pun menjadi orang-orang baik dalam kehidupan kita sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *