
Belakangan ini, sudah semakin banyak orang yang peduli terhadap kaum yang tersingkirkan serta kurang terjamah, seperti penyandang disabilitas. Namun, rasa peduli saja tidak cukup, sahabat D’Impact, tanpa aksi untuk mewujudkan kepedulian tersebut serta kegigihan dalam melampaui tantangan yang pasti akan muncul.
Hal ini dialami dan dibuktikan sendiri oleh Ratnawati Sutedjo, seorang sociopreneur yang bergiat di dunia disabilitas. Mari simak kisah beliau berikut ini:
Keresahan yang Berbuah Baik
Perhatian Ratnawati terhadap kaum disabilitas bermula dari penyakit yang dialaminya bertahun-tahun lalu.
“Tuhan izinkan saya sakit. Saya merasa lemah dan sangat terbatas dalam melakukan aktivitas yang bisa saya lakukan.” Tuturnya perihal titik balik tersebut. Kemudian terbersit di benaknya, “Bagaimana disabilitas bisa hidup secara baik sementara mereka memiliki anggota-anggota tubuh yang lengkap tetapi tidak berfungsi?”
Pemikiran tersebut menyebabkan Ratnawati merasa serupa tapi tak sama dengan penyandang disabilitas. Ia bernazar kepada Tuhan: Kalau Tuhan beri kesembuhan, maka ia akan mau membantu teman-teman disabilitas. Tuhan mengabulkan nazarnya dan membuka jalan baginya. Ia pun mulai mempelajari Bahasa isyarat yang saat itu masih sangat jarang diketahui. Suatu hari, ia dipertemukan dengan seorang teman tuli dan mulai menjalin pertemanan dengannya.
“Saya mendengar bagaimana ia bercerita, ‘Hidup saya susah, saya ingin bekerja, saya ingin mendapatkan uang tapi saya tidak pernah diberikan kesempatan untuk bekerja’,” ia mengutip perkataan teman tuli.
Dari pembicaraan tersebut, terbersit di hatinya untuk membantu teman tuli dengan mengajarkan keterampilan kepada mereka. Ratnawati Sutedjo mendirikan komunitas Precious One pada tahun 2004, memiliki visi untuk mengurangi pengangguran disabilitas di Indonesia. Namun, sejak awal, komunitas di bawah naungan Ratnawati ini sudah menghadapi tantangan besar.
Perjuangan dari Akar
Kala itu, Ratnawati bertemu dengan seorang pemilik perusahaan yang secara frontal menolak untuk bekerjasama dengan Precious One dengan alasan bahwa Precious One merupakan hasil karya orang cacat.
Dari pengalaman ini, ia menyadari bahwa citra penyandang disabilitas di mata masyarakat luas masih buruk. Ratnawati memulai program edukasi mengenai hasil karya disabilitas dan berjuang supaya produk yang dibuat dapat bersaing dari segi kualitas. Di balik semua produk Precious One ada kisah dan semangat para penyandang disabilitas untuk meraih masa depan yang penuh harapan. Akhirnya, terlahir pula pemikiran: “Mengajak Masyarakat untuk Bangga dengan Karya Disabilitas.”
Tekad baru ini pun segera mendapatkan ujian.
“I Can Do”
Suatu hari, ada seorang pria yang mempunyai anak penyandang disabilitas intelektual menyampaikan harapan agar anaknya dapat bekerja.
Ratnawati memutar otak untuk memenuhi harapan ini, hingga akhirnya setelah berdiskusi dengan teman dan psikolog, tercetuslah ide bahwa penyandang disabilitas intelektual dapat bekerja memasukkan sendok dan tisu ke dalam plastik, untuk kebutuhan catering. Kemudian ia menghubungi seorang pengusaha restoran yang saat itu belum yakin dengan usulannya bahkan beranggapan bahwa standar restorannya bisa turun kalau masyarakat tahu pekerjaan memasukkan sendok dan tisu dilakukan oleh penyandang down syndrome yang secara luas dianggap kurang higienis karena sering menjulurkan lidah dengan mulut ternganga.
Setelah berdiskusi dan memberikan pengertian, pada akhirnya, pengusaha tersebut mau memberikan kesempatan. Pesanan awalnya adalah 3000 sendok dan tisu untuk dikemas ke dalam plastik.
Program ini masih berjalan sampai sekarang yang kemudian dinamakan “I Can Do,” mempunyai tujuan memberikan lapangan pekerjaan untuk meningkatkan produktivitas penyandang disabilitas intelektual atau autism
Kini, sudah ratusan ribu sendok dan tisu yang sudah dimasukkan ke dalam plastik dan dipasarkan secara komersial.
Namun, tak hanya dalam kesempatan kerja yang masih sangat terbatas untuk disabilitas tapi juga dalam hal-hal lain.
Kesetaraan dan Kesempatan
Suatu kali, Ratnawati menemukan bahwa anak-anak disabilitas jenis apa pun hampir kehilangan salah satu hak mereka, yaitu bermain. Ia berkisah bahwa banyak orang yang meremehkan menganggap mereka tidak mampu berbaur dan bermain di tempat umum
Melihat kenyataan ini, ia berinisiatif mengadakan sebuah acara di Semarang untuk memberikan anak-anak disabilitas kesempatan bermain di pusat perbelanjaan. Sampai saat ini, program yang diberi nama Special Day for Special Children sudah diadakan di 7 kota, dengan harapan akan terus berkembang.
Tak hanya dalam urusan bermain, Ratnawati pun berusaha membela anak-anak disabilitas yang sering dirundung teman-teman non-disabilitas di lingkungan sekolah. Lini perjuangan ini bermula dari kisah seorang gadis tunarungu berusia 20 tahun yang dulu diberi julukan “Bolot” oleh teman-temannya yang non-disabilitas; pengalaman yang hingga kini masih sangat membekas di hatinya. Dan, agar hal-hal semacam itu tidak terjadi lagi, Ratnawati mengadakan program “I am a Buddy,” bekerjasama dengan perusahaan, sekolah maupun masyarakat umum memberikan edukasi tentang penyebab disabilitas kepada banyak kalangan.
Dukungan terhadap Penyandang Disabilitas
“Saya berharap masyarakat bisa ikut mendukung teman-teman disabilitas,” Ratnawati mengungkapkan di akhir penuturannya tentang program-program Precious One.
Lebih jauh lagi, ia menekankan, “Hari ini kita normal, kita memiliki anggota tubuh yang lengkap. Bukan berarti tidak bisa menjadi disabilitas. Penyebab disabilitas banyak: Sejak lahir, kecelakaan, salah obat, sakit.”
Sahabat D’Impact, semoga semangat, ketulusan hati dan usaha Ratnawati Sutedjo serta sekilas tentang dunia disabilitas ini dapat menjadi insight yang bermakna. Salam inklusi!