
Sahabat D’Impact, di artikel lalu telah diulas bagaimana seorang penyandang disabilitas seperti saya menghadapi interaksi sosial di luar ranah pekerjaan. Contoh yang diambil dalam artikel tersebut adalah saat saya mengikuti acara ulang tahun perusahaan besar untuk pertama kalinya, yang juga merupakan pertama kalinya rekan-rekan di sana berinteraksi sosial dengan seorang tunanetra total.
Social venture tersebut berhasil, sahabat D’Impact. Namun, bagaimana jika ada tambahan elemen back to nature di dalamnya? Hal inilah yang saya coba temukan berikutnya, yang diulas berikut ini:
Sadar Lingkungan, Sadar Disabilitas
Di akhir acara ulang tahun perusahaan kala itu, diumumkan bahwa akan ada penanaman bibit bakau serentak di 2 kota sebagai rangkaian perayaan ulang tahun. Saya yang senang menjelajahi tempat-tempat yang alami sontak gembira, sahabat D’Impact. Saya pun berpikiran bahwa acara penanaman bakau tersebut bisa mengajak para karyawan sadar disabilitas, selain mengajak mereka sadar lingkungan.
Kemudian, dalam rapat mingguan, saya mengutarakan niat mengikuti acara penanaman bakau ini beserta alasannya kepada rekan-rekan setim. Saya pun mengakui bahwa keberhasilan para penjaga booth dalam acara ulang tahun untuk mengakomodir tunanetra total membuat saya lebih percaya diri dan ingin berinteraksi lebih jauh lagi.
Namun, tak disangka, rekan-rekan yang waktu itu menyemangati saya untuk mengikuti acara ulang tahun perusahaan kini ragu-ragu dan khawatir.
Segi yang Belum Tergali
“Ini hutan lho, Kak,” ujar salah satu rekan. “Kalo kita kemarin itu kan di pelataran hotel. Lingkungannya masih terkontrol.”
“Aku udah beberapa kali hiking dan jalan-jalan di hutan kok. Aku suka yang alam-alam gitu. Pernah 2 kali arung jeram sama teman-teman kuliah juga,” tangkis saya penuh harap. “Tahun lalu pernah ke hutan mangrove ini juga sama ibuku. Kami sampai menelusuri jembatan di atas rawa-rawa itu ke arah laut.”
“Tapi tim EHS (Employee Health and Safety) belum tentu setuju, Lis (nama panggilan saya),” manajer tim menyebutkan, dan menciutlah harapan tersebut, sahabat D’Impact. Pasalnya, saya tahu seberapa perhatiannya tim yang dimaksud akan keselamatan karyawan dalam segala aktivitas perusahaan, termasuk acara ini.
“Kalau sama teman sendiri yang udah gaul beberapa bulan aja nggak lolos, gimana sama tim EHS yang lebih waspada dan protektif lagi?” pikir saya kala itu. Saya pun masih merasa on the backfoot, karena selama ini saya mengira bahwa rekan-rekan setim sudah jauh lebih paham tentang apa saja keterbatasan dan kemampuan penyandang disabilitas, terutama tunanetra total.
Namun, tetap saja, saya meminta manajer tim untuk mengusahakan agar saya bisa hadir di acara tersebut, dan, leganya, beliau menyanggupi. Sementara beliau sounding ke jajaran manajerial tentang hal ini, saya ditugasi mengirimkan chat kepada panitia penyelenggara untuk menjelaskan kondisi dan keinginan saya.
Kenyataan di Lapangan
Dan, saya berhasil ikut acara tersebut, sahabat D’Impact! Tim panitia dan EHS tidak menyarankan saya untuk mengikuti acara penanaman bakau, sayangnya. Namun, mereka melampuhijaukan keikutsertaan saya dalam permainan yang digelar sebelum penanaman berlangsung. Rekan yang sudah bersedia mendampingi sepanjang acara pun enggan mengikuti acara penananamn bakau, bahkan tanpa saya sekalipun.
“Nanamnya di jembatan gitu, Kak,” jelasnya. “Bawahnya langsung laut. Salah dikit, nyebur….”
“Yang penting udah masuk acara. Dari permainan aja kan aku tetap bisa berkampanye sadar disabilitas, kayak di acara ulang tahun kemarin itu,” pikir saya waktu itu, menghibur diri.
Namun, nyatanya, bahkan di dalam bus yang membawa kami ke lokasi acara pun saya sudah duduk terpisah dengan rekan setim. Setiba di lokasi, teman sebangku di bus juga mengajak saya ikut bersamanya dalam acara permainan, saat panitia meminta peserta membagi diri dalam grup. Sungguh kejutan yang menyenangkan! Apalagi, interaksi kami terasa sangat luwes dan tanpa rasa canggung – bercanda, membagi tugas, mengobrol, berjalan bersama, menikmati snack, dan sebagainya.
Berjuang Bersama, Menanam Bersama
Bagi saya sendiri dan bagi kampanye informal sadar disabilitas di antara para peserta acara ini, ada pula kejutan menyenangkan lain: Seusai game, kawan yang kebetulan juga mengikuti acara ini menghampiri saya dan bertanya apakah saya ingin ikut menanam bakau. Tentu saja saya mau!
Rupanya, “jembatan kecil” yang dimaksud rekan setim ketika mendeskripsikan lokasi menanam bakau adalah panggung yang menjulur dari daratan sampai sekitar 5 meter ke arah laut. Panggung tersebut terbuat dari jalinan batang-batang bambu, seperti rakit, dan di tepiannya yang tak rata tersedia jalan setapak yang berlika-liku. Saya mendapati hal ini ketika kawan tersebut menggandeng tangan saya dan mulai mengarahkan saya menelusuri jalan setapak tersebut, dibantu teman-teman segrup dan beberapa bystanders. Seorang teman lain menggandeng tangan saya yang sebelah, mungkin khawatir saya tersandung, tetapi bagi saya ini bukti sebuah kebersamaan.
Senang sekali rasanya, ketika saya berhasil mencapai pot yang hendak ditanami bibit bakau, dan salah satu jajaran manajerial menyerahkan sebatang bibit kepada saya. Untuk pertama kalinya seumur hidup, saya mengetahui seperti apa bentuk bibit bakau dan menancapkannya ke dalam tanah basah yang sudah dipersiapkan, sahabat D’Impact. Dan, hal ini tidak akan terjadi tanpa kesediaan rekan non-disabilitas untuk membantu dan berjuang bersama saya yang disabilitas.
Keberhasilan ini prestasi bagi semua yang terlibat, sahabat D’Impact, dan sorakan serta tepuk tangan meriah yang menyambut penanaman tersebut menunjukkannya.
Keberhasilan ini pun rupanya menggerakkan manajer tim untuk mengikutsertakan saya dalam acara outing lain yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi. Seperti apa bentuk acara tersebut dan cara kami menyiasatinya? Mari simak di artikel berikutnya, sahabat D’Impact!