Advokat Tunanetra

Sahabat D’Impact, perjuangan biasanya dimulai dari inisiatif diri sendiri yang bergulir dan membesar seperti bola salju, atau bertemu dengan inisiatif lain yang sudah ada. Demikian halnya dengan perjuangan Aria Indrawati sebagai advokat tunanetra untuk hak-hak sesama tunanetra, yang dimulai sejak ia kecil.

Seperti apa kiprah advokasi dan keorganisasiannya? Mari simak dalam artikel berikut:

Melawan Ketidakadilan dan Memperjuangkan Kesempatan

Perjuangan Aria dipantik oleh realita kehidupannya sendiri sebagai penyandang tunanetra, sahabat D’Impact.

Menjadi tunanetra hidup di Indonesia tidak mudah. Ibaratnya tuh, kalau kita mau naik kereta api, bahkan kita harus membangun relnya sendiri dulu,” ia memaparkan. “Misalnya ketika saya pada suatu hari harus tugas ke luar kota, harus terbang sendiri, tidak ada pendamping. Airline menolak saya terbang, atau saya disuruh menandatangani surat penyataan bahwa saya dikategorikan sakit, dan kalau nanti terjadi sesuatu, airline tidak mau menanggung. Misalnya juga ketika suatu kali saya ingin membuka rekening di satu bank milik pemerintah, dan bank itu menolak. Padahal saya sudah punya rekening di sana, dan Ini saya akan membuka rekening kedua kalinya. Tapi saya ditolak karena saya datang ke bank sendiri, sedangkan sebelumnya saya datang ke bank bersama teman. Perlakuan-perlakuan diskriminasi seperti ini yang membuat saya tentu harus bersikap. Tentu saya tidak bisa membiarkan situasi itu.”

Aria “membangun rel” bagi sesama tunanetra dengan menjadi advokat bagi mereka. Ia menegaskan, “Kadang-kadang saya harus berperang dengan masyarakat yang tidak mendukung. Kalau sudah diberikan informasi dengan cara yang baik tapi masih tetap tidak merespon dengan baik, pada titik-titik tertentu saya juga bersikap sebagai pressure ya, penekan pada mereka.”

Berkenalan dengan Sarana Advokasi Terpadu bagi Tunanetra

Selagi bekerja di universitas almamaternya, Aria yang pernah 5 tahun menjadi dosen ini berkenalan dengan Persatuan Tunanetra Indonesia, sahabat D’Impact.

Ia bercerita, “Yang pertama sekali memperkenalkan saya dan akhirnya saya bergabung dengan Pertuni adalah seorang ibu anggota Mitra Bakti Pertuni Daerah Jawa Tengah. (Anggota Mitra Bakti adalah seorang yang bukan tunanetra, tapi mendukung perjuangan tunanetra yang dilakukan di Pertuni.) Ibu inilah yang mengajak saya untuk datang main dulu pada awalnya ke Sekretariat Pertuni Daerah Jawa Tengah dan memperkenalkan saya dengan sosok-sosok pengurus di sana.”

Saat bergabung di cabang organisasi kemasyarakatan yang telah berdiri sejak tahun 1966 ini, Aria juga mempelajari hal baru, sahabat D’Impact. Berkat bimbingan salah satu pengurus DPD Pertuni kala itu, ia belajar tidak hanya menjadi advokat tunanetra tetapi juga pemimpin tunanetra.

“Akhirnya saya bisa memahami apa yang harus dilakukan oleh seorang pengurus Pertuni dan Pertuni sebagai sebuah organisasi,” tuturnya. “Waktu itu saya langsung diminta menjadi pengurus, Wakil Ketua 1 Pertuni Daerah Jawa Tengah, yang membidangi antara lain membangun kerjasama dengan pemangku peran terkait aktivitas di Pertuni.”

Perihal keberadaan dan cakupan Pertuni sendiri, ia menerangkan, “Fokus utama Pertuni sebenarnya pada langkah-langkah advokasi – advokasi kebijakan, ketika ada hak-hak tunanetra yang dilanggar itu dibela, dan lain-lain. Namun demikian, karena lembaga yang bekerja untuk tunanetra di Indonesia masih sangat terbatas. Jadi, di samping melakukan program-program di bidang advokasi kebijakan dan pembelaan hak-hak penyandang tunanetra, Pertuni juga mengadakan pelatihan-pelatihan, misalnya pelatihan persiapan bekerja untuk mahasiswa tunanetra dan pelatihan komputer.”

Keterpaduan layanan Pertuni ini membuat Aria betah berkecimpung di dalamnya, bahkan hingga ia hijrah ke Jakarta dan menjajaki karier baru.

Aria Indrawati, Perempuan Pemimpin Organisasi Se-Indonesia

5 tahun setelah menetap di Jakarta, Aria diundang oleh Ketua Umum Pertuni yang baru saja terpilih kala itu untuk turut andil di Dewan Pengurus Pusat Pertuni.

“Posisi saya sebagai Ketua 3 waktu itu, dan selama 2 periode kepemimpinan beliau saya menjadi Ketua 3, ia menambahkan.

Tak hanya itu, “Di periode kedua kepemimpinan beliau saya memang dipersiapkan untuk melanjutkan menjadi penerus beliau. Dan akhirnya pada Musyawarah Nasional Pertuni ke-8 tahun 2014 saya terpilih menjadi Ketua Umum Pertuni untuk pertama kalinya.”

Hal ini merupakan pencapaian yang berharga tak hanya bagi Aria sendiri, sahabat D’Impact. Dengan terpilihnya ia menjadi ketua umum, ia mencetak rekor sebagai perempuan pertama yang memangku jabatan tersebut. Ia pun menempati posisi ini selama 10 tahun berturut-turut.

Perihal tantangan yang ia hadapi selama menjalankan tugasnya sebagai ketua umum, Aria menyebutkan, “Saya harus bisa bahasa Inggris, karena harus mewakili Pertuni di luar negeri juga. Harus memiliki kemampuan menulis, karena harus membuat proposal, report dan lain-lain. Harus memiliki kemampuan komunikasi verbal yang baik, networking, bisa bekerjasama dengan banyak pihak, pemerintah dan swasta. Pada saat-saat tertentu juga harus bisa melakukan lobi, bahkan pressure, ketika terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan tunanetra. Secara internal, banyak kelompok yang tergabung dalam satu organisasi ini, jadi banyak kepentingan juga, dan saya harus mengolah grant yang didapatkan Pertuni untuk kebaikan sebanyak mungkin pihak.”

Perjuangan dan kiprah Aria di tengah semua tantangan tersebut mendapat respon yang positif dari beragam kalangan, sahabat D’Impact. Ia menuturkan, “Mereka memberikan apresiasi kepada saya dan menjadikan saya sebagai role model untuk disampaikan kepada publik: bahwa Pertuni juga pernah memiliki seorang ketua umum dari kalangan perempuan misalnya, karena kita semua tahu perempuan itu mengalami diskriminasi berlapis.”

Advokat Tunanetra bagi Sesama Tunanetra

Bahkan sebelum menjadi pimpinan tertinggi di Pertuni pun, Aria telah mengambil andil besar dalam mensejahterakan tunanetra di Indonesia, sahabat D’Impact. Pada tahun 2013, Ketua Umum Pertuni kala itu menugasinya untuk bergabung dengan Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas, yang sedang mengusahakan penerbitan undang-undang penyandang disabilitas yang baru.

“Butuh waktu kurang lebih 3 tahun ya dari mulai perjuangan awal – menyusun draft dan lain-lain, lobi-lobi, aksi demo di jalan yang kami kemas dalam parade budaya dan lain-lain, memberikan tekanan-tekanan kepada pemerintah dan DPR agar segera memproses dan mengesahkan Undang-Undang Penyandang Disabilitas – hingga pada akhirnya berhasil disahkan pada tahun 2016,” ia mengungkapkan.

Sayangnya, “Tidak semua aspirasi yang kami sampaikan kepada mereka diakomodir.” Namun, ia tetap bersyukur bahwa, “Secara kualitas, Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang ada saat ini jauh-jauh-jauh-jauh lebih baik dibandingkan undang-undang sebelumnya yang berbasis belas kasihan. Undang-undang yang saat ini berlaku berbasis hak asasi manusia, dan telah mengangkat isu disabilitas menjadi isu pembangunan.”

Ini tentunya merupakan pencapaian yang sangat berarti pula bagi Aria secara pribadi sebagai advokat tunanetra yang selalu mengusahakan hak-hak tunanetra.

Hikmah Perjuangan

Sepanjang perjuangannya sejak kecil hingga kini, Aria memetik banyak pelajaran, yang ingin ia bagikan juga kepada sahabat D’Impact, baik yang disabilitas maupun non-disabilitas.

Kepada sahabat D’Impact yang menyandang disabilitas, terutama tunanetra, ia menitipkan pesan, “Zaman sudah sangat maju. Sekarang ini dengan dukungan teknologi kita bisa menikmati kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan pada saat saya tumbuh. Menjadi tugas kita adalah berusaha sekuat tenaga untuk berpendidikan setinggi mungkin. Sekolah jangan hanya di SLB. SLB cukup SD saja, setelah itu masuk ke sekolah reguler agar terlatih untuk berinteraksi dengan Masyarakat yang tidak menyandang disabilitas. itu sangat penting, sekaligus membiasakan mereka yang tidak menyandang disabilitas berinteraksi dengan mereka yang menyandang disabilitas. Begitu pula ketika bekerja.”

Secara umum, Aria juga memiliki tips yang ingin ia bagikan kepada semua sahabat D’Impact tanpa terkecuali, yaitu, “Jangan takut memasuki hal-hal baru. Tentu bukan hal yang mudah, sangat menantang. Namun kalau kita punya tekad yang kuat, saya percaya tantangan itu semuanya bisa diatasi. Jangan segan juga untuk meminta nasihat dan saran pada mereka yang sudah lebih dulu dari kita, karena senior sudah menjalaninya lebih dulu. Itu sebabnya saran dan nasihatnya akan sangat berguna, bisa dijadikan rujukan agar kita tidak tersandung batu yang sama. Atau kalau lah ada batu, kita sudah tahu, dan tahu bagaimana cara mengelola batu itu: Apakah disingkirkan, apakah dipungut, dan lain sebagainya.”

Sahabat D’Impact, demikian pengalaman hidup dan kepemimpinan seorang Aria Indrawati, advokat tunanetra bagi tunanetra. Semoga bermanfaat bagi semua sahabat D’Impact, baik yang disabilitas maupun non-disabilitas. Salam inklusi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *