Tunanetra Juga Bisa

Sahabat D’Impact, di artikel sebelumnya, Aria Indrawati mengungkapkan perhatian besarnya terhadap edukasi tentang dan bagi para tunanetra. Rupanya, semboyan “Tunanetra juga bisa” ini ia wujudkan dalam berbagai cara.

Apa saja cara tersebut? Mari simak ulasannya berikut ini:

Mulai dari “Kandang” Sendiri

Aria mengawali kariernya di bidang pendidikan usai menuntaskan pendidikannya sendiri di perguruan tinggi, sahabat D’Impact. Tempat mengajar yang ia pilih pun universitas tempatnya berkuliah dulu.

Mengenai pilihan ini, ia mengakui, “Saya memilih mengajar di sana karena sifitas akademika di sana sudah tahu bahwa saya, Aria Indrawati, alumni mereka sendiri yang waktu itu lulus dengan IP kumulatif tertinggi, adalah seorang dengan ganguan penglihatan. Dengan begitu saya berharap mereka akan lebih mudah bisa menerima saya.”

Sayangnya, meskipun berbekal siasat tersebut, jalan yang ia lalui tak mulus, sahabat D’Impact. Ia mengungkapkan, “Awalnya, saat saya mengajar sebagai asisten dosen, beberapa dosen senior yang saya asisteni, terutama yang belum mengenal saya atau tidak pernah menjadi dosen saya, meragukan kemampuan saya untuk mengajar dan meng-handle kelas yang begitu besar, yang jumlah mahasiswanya bisa 70 atau bahkan lebih.”

“Tapi pada akhirnya, saya menjadi salah satu asisten dosen yang disenangi mahasiswa karena bisa mengkonversi mata kuliah yang tadinya dianggap momok menjadi mata kuliah yang ternyata tidak seharusnya dijadikan momok,” ia melanjutkan. “Dosen-dosen senior pun mulai memahami bahwa saya memiliki kemampuan mengajar dengan baik, dan ya sempat pada suatu waktu saya jadi asisten dosen yang diperebutkan oleh para dosen-dosen senior.”

Selama 5 tahun, Aria tak hanya mengajar tetapi juga menyelami realita persebaran pengetahuan tentang tunanetra di kalangan masyarakat luas saat itu, yang ternyata masih sangat memprihatinkan. Ia pun bertekad menunjukkan bahwa, “Kalau tunanetra itu berpendidikan tinggi dan mendapatkan kesempatan untuk berkarya, tunanetra juga bisa.”

Namun, tak terelakkan, amat minim dan mahalnya teknologi pendukung bagi tunanetra kala itu membatasi kiprah Aria dalam karyanya sebagai akademisi. Ia bercerita, “Akhirnya saya bergantung pada volunteer pembaca, dan itu tentu bukan hal yang saya inginkan sebagai dosen. Tentu saya ingin mandiri. Walaupun memang, para senior saya yang berprofesi sebagai dosen pun rata-rata memiliki asisten pribadi, karena keterbatasan yang sama.”

Pucuk Dicinta Ulam Tiba

Minimnya pendukung bagi tunanetra sebenarnya telah lama disoroti oleh wanita yang gemar menyambangi museum ke mana pun ia pergi ini. Kepada tim D’Impact, ia menuturkan, “Dulu, waktu saya sekolah dan kuliah, saya berpikir kenapa tidak ada lembaga yang secara khusus bekerja untuk tunanetra. Yang ada hanya sekolah luar biasa (SLB), di mana saya merasa tidak semua hal yang saya butuhkan ada di situ, meskipun SLB tempat saya belajar pemikiran guru-guru dan kepala sekolahnya sudah sangat maju.”

Suatu hari, usai bergabung dengan Persatuan Tunannetra Indonesia daerah Jawa Tengah, ia mengetahui adanya Yayasan Mitra Netra, yang waktu itu mengirimkan “majalah bicara,” yaitu majalah yang dikemas dalam bentuk kaset. Ia pun mengenal adanya “komputer bicara” – komputer beraplikasi text-to-speech – lewat brosur yang dikirimkan lembaga ini bersama majalah bicara.

“Kemudian saya dan teman-teman pengurus didampingi sebuah universitas swasta di Semarang berkunjung ke Mitra Netra di Jakarta,” ia melanjutkan. “Waktu itu kami melihat bagaimana komputer itu bekerja, bagaimana tunanetra menggunakannya, dan lain-lain, sampai akhirnya Pertuni daerah Jawa Tengah memutuskan untuk mendapatkan grant, dan grant tersebut kita gunakan untuk pengadaan 1 unit komputer bicara yang ditempatkan di Sekretariat Pertuni Daerah Jawa Tengah.”

Tak hanya itu, “Saya juga mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan yang diadakan Mitra Netra, mewakili Pertuni Jawa Tengah, seperti latihan dasar kepemimpinan, juga pelatihan-pelatihan menulis yang waktu itu instrukturnya adalah wartawan-wartawan senior dari surat kabar ternama. Nah, dari situ saya tahu Mitra Netra ini lembaga yang mengembangkan dan menyediakan layanan untuk tunanetra di bidang Pendidikan, dan menyiapkan tunanetra agar pada saatnya nanti siap bekerja di Masyarakat, seperti impian saya semasa sekolah dan kuliah.”

Alhasil, saat ditawari bekerja di sana sebagai Kepala Bagian Humas (Hubungan Masyarakat) dan Tenaga Kerja pada akhir tahun 1999, Aria mengiyakan dengan senang hati. Ia pun mengakhiri kariernya sebagai dosen di Semarang, lekas hijrah ke Jakarta, dan berkarya di Yayasan Mitra Netra hingga kini.

Tunanetra Juga Bisa

Melalui pimpinan Aria dan berbekal motto “Tunanetra juga bisa,” bahkan, “Ada kurang-lebih 6 orang alumni pelatihan Mitra Netra yang saat ini berkarier sebagai programmer atau software engineer dengan level mereka masing-masing.”

Mengejutkan ya, sahabat D’Impact?

Perihal ini, Aria menyebutkan, “Itu adalah bidang yang baru, yang sebelumnya tunanetra belum pernah masuk di dalamnya. Sampai sekarang, Mitra Netra adalah salah satu dari sangat-sangat-sangat sedikit Lembaga yang mengadakan pelatihan programming untuk tunanetra.”

Tak hanya dalam bidang pendidikan, Aria pun berusaha menunjukkan bahwa “tunanetra juga bisa” lewat hobi yang sempat digelutinya, sahabat D’Impact.

Saya sempat main golf tahun 2013,” ia bercerita. “Golf coach saya seorang dari Korea Selatan yang tinggal di Tangerang. Dia memang pelati golf untuk tunanetra, dan ketika dia pindah ke Indonesia, dia mencari murid tunanetra yang mau dilatih. Saya tertarik, dan berlatih selama sekitar 5 tahun bersama coach ini. Saya juga sempat ikut eksibisi 2 kali di Jepang.”

Wanita kelahiran Surabaya yang dibesarkan di Semarang ini juga serius mengkampanyekan fakta-fakta tersebut kepada masyarakat luas, sahabat D’Impact. Pasalnya, “Masyarakat itu banyak yang tidak tahu bahwa tunanetra bisa bekerja ini dan itu. Nah kalau mereka memang benar-benar tidak tahu ya harus diberitahu, dan tugas kita memberitahu mereka.”

Perihal ini, kepada para tunanetra, ia ingin berpesan, “Jangan menghindari mereka tapi memberitahu, bekerjasama dengan mereka, bersikap akomodatif. Jangan hanya menuntut tapi juga harus memberi. Jadi give and take, bukan take and give.”

Namun, tak ketinggalan, bagi sahabat D’Impact yang lain, Aria juga menitipkan salam: “Sukses untuk kita semua. Kita semua harus berperan membangun Indonesia menjadi negara yang lebih inklusif. Karena untuk membangun Indonesia menjadi negara yang inklusif butuh partisipasi dan kontribusi seluruh pemangku peran dan seluruh elemen bangsa ini.”

Dan, jika sahabat D’Impact ingin tahu lebih lanjut apa saja yang dilakukan Aria sepanjang kariernya sebagai seorang leader, yuk lanjut ke artikel berikutnya!

Salam inklusi!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *