Perjuangan Bersama

Sahabat D’Impact, memperjuangkan sesuatu secara seorang diri pasti berbeda hasilnya dengan perjuangan yang dilakukan bersama-sama serta secara terpadu. Hal ini amat dirasakan sejak kecil oleh Aria Indrawati, seorang tunanetra berpenglihatan terbatas (low vision) yang baru-baru ini mengakhiri pengabdian panjangnya sebagai ketua umum Persatuan Tunanetra Indonesia.

Apa saja yang ia perjuangkan dan siapa saja yang terlibat dalam perjuangan tersebut? Mari simak jawabannya dalam ulasan berikut:

Pencerahan dalam Kegelapan

Aria tunanetra sejak lahir, sahabat D’Impact. Meskipun demikian, orangtuanya terus mengusahakan perbaikan terhadap sisa penglihatan yang ia miliki dan informasi mengenai disabilitas yang ia sandang.

Dokter mata mendiagnosa bahwa Aria mengalami star, bukan katarak, yang disebabkan oleh konsumsi obat oleh ibu Aria saat mengandung dirinya. Sayangnya, tindakan medis yang diberikan saat Aria berusia sekitar 3 tahun tak banyak membawa hasil.

“Ada gangguan tertutup selaput gitu, yang akhirnya keberadaan selaput itu mengganggu syaraf-syaraf mata saya,” wanita yang gemar membaca buku-buku berlatar sejarah ini menerangkan. “Akhirnya saya hanya bisa melihat Sebagian. Jadi saya melihat lebih dengan pandangan tepi, sementara centre vision saya itu kalau menurut kategori WHO ya sudah termasuk blind. Namun, karena dua-duanya masih memiliki sisa penglihatan, jadi peripheral vision antara mata kiri dan mata kanan itu saling mendukung.”

Tak hanya perihal medis, dokter mata tersebut pun banyak memberikan informasi tentang dunia ketunanetraan, yang kala itu masih sangat minim. Informasi ini selanjutnya digunakan oleh orangtua Aria saat mengasuh dan membesarkannya.

Perjuangan Bersama Untuk Meraih Pendidikan Dasar

Meskipun dengan informasi ketunanetraan yang sangat minim, juga belum akrabnya konsep inklusi disabilitas di telinga masyarakat, orangtua Aria tetap mengusahakannya untuk mengenyam pendidikan.

Perihal ini, Aria berkisah, “Pada saat saya harus sekolah, di umur 5 tahun, saya tetap dibawa ke sekolah. Waktu itu sekolah regular. Meskipun sekolah menolak, ibu saya bilang, ‘Titip dulu, biar dia sekolah dulu.’ Jadilah saya sekolah di dekat rumah, langsung TK besar, terus kelas 1 sebentar, lalu pindah ke sebuah sekolah Katolik. Kakak saya yang nomor 1 ada di sana, dan saya menyelesaikan kelas 1 di situ, kemudian baru pindah ke sekolah luar biasa (SLB), menyelesaikan SD.”

Saat bersekolah di SLB, Aria banyak mendapat dukungan dari guru-gurunya, dan ia beserta keluarganya memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang dunia ketunanetraan. Bahkan, saat ia hendak melanjutkan pendidikan seusai SD, kepala sekolahnya turut andil mengupayakan pendidikan yang terbaik baginya.

“Ketika saya lulus SD, kepala sekolah saya bilang, ‘Aria harus melanjutkan sekolah ke sekolah umum, bukan di sini, karena tempat Aria di sana’,” Aria mengenang. “Beliau berjuang keras juga membantu saya pada akhirnya untuk bisa masuk ke sekolah regular, meskipun sangat-sangat-sangat-sangat tidak mudah. Karena waktu itu, seorang anak tunanetra menempuh pendidikan di sekolah reguler biasanya hanya terjadi pada anak-anak pejabat. Meskipun orangtua saya Masyarakat biasa, bukan pejabat, namun karena adanya dukungan penuh dari kepala sekolah SLB tempat saya belajar, pada akhirnya saya bisa menempuh dan menyelesaikan pendidikan di sekolah regular,.”

Perjuangan bersama antara orangtua Aria, Aria sendiri dan kepala sekolahnya ini mengantarkan Aria ke jenjang SMP dan SMA, sahabat D’Impact. Beberapa tahun berselang, ia bahkan menyelesaikan kuliahnya di fakultas hukum sebuah universitas swasta di Semarang, Jawa Tengah, dengan IPK 3,58.

Meneruskan Obor Perjuangan

Aria merasa sangat beruntung memiliki dukungan sebaik ini, juga kesempatan-kesempatan lain yang ia peroleh di kemudian hari.

“Dulu waktu saya belum terpapar dengan informasi yang benar, memang seperti kebanyakan mereka yang low vision, saya kurang bersikap assertif dalam mengatakan eksistensi diri saya sebagai seorang penyandang low vision,” ia menuturkan kepada tim D’Impact. “Namun setelah saya bergaul dengan banyak tunanetra, terutama setelah go international, saya lebih confident.”

Wanita penyuka olahraga jalan kaki di udara terbuka ini lantas berusaha menularkan kepercayaan diri tersebut kepada para penyandang keterbatasan penglihatan yang lain. Penggunaan tongkat sebagai identitas ketunanetraan adalah salah satu bentuk kepercayaan diri yang ingin ia tularkan. Pasalnya, “Saya merasakan, meskipun sebenarnya saya tidak sedang membutuhkan tongkat, namun karena saya sedang membutuhkan pertolongan orang lain, ttongkat menjadi indikator penting bahwa saya adalah tunanetra dan saya membutuhkan pertolongan orang-orang yang ada di sekitar saya. Dengan saya kemana-mana menggunakan tongkat, pertolongan mendatangi saya dengan sangat hangat, dan ketika mendapatkan pertolongan tentu segala sesuatu bisa saya lakukan dengan lebih mudah.”

Sayangnya, hingga kini, masih sedikit penyandang low vision yang mengikuti jejaknya, sahabat D’Impact. “Karena sebagian besar penyandang low vision itu pembentukan konsep dirinya masih belum pas, sehingga masih banyak dari mereka yang tidak mau. Atau low vision– nya mau, tapi keluarganya atau orangtuanya belum mengizinkan mereka menggunakan tongkat.”

Aria sadar bahwa perjuangan seperti ini tidak dapat ia kerahkan seorang diri. Masih banyak pula edukasi yang perlu diberikan kepada baik masyarakat luas maupun para tunanetra. Hal inilah yang mendorongnya untuk berkecimpung di sejumlah organisasi ketunanetraan hingga kini.

Seperti apa sepak-terjangnya dalam dunia ketunanetraan, terutama di bidang edukasi/pendidikan? Mari simak di artikel berikutnya, sahabat D’Impact!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *