
Sahabat D’Impact, “Tak kenal maka tak sayang” mungkin pepatah yang sudah seringkali didengar. Namun, pepatah ini terbukti sangat relevan bagi saya sendiri ketika saya ditawari bekerja di sebuah perusahaan rokok ternama pada pertengahan tahun 2022 sebagai karyawan disabilitas. Hal ini pun kerap muncul kembali selama saya bekerja di sana.
Nekad Mempekerjakan, Nekad Bekerja
Dilema “ayam dan telur” tak jarang dijumpai dalam berbagai segi kehidupan, termasuk pekerjaan. Dalam hal ini, perusahaan bingung apakah sebaiknya menyiapkan infrastruktur yang siap mengakomodir pekerja disabilitas lebih dulu, atau mempekerjakan penyandang disabilitas tersebut lebih dulu. Sementara itu, pemerintah sudah menetapkan terdaftarnya 1% penyandang disabilitas sebagai karyawan di setiap perusahaan swasta dalam undang-undang.
Program inklusi disabilitas sudah dijalankan sejak tahun 2021 sebagai usaha menyiapkan lingkungan kerja yang baik bagi calon karyawan disabilitas. Namun, program ini dirasa berjalan di tempat dan “kurang pas” tanpa adanya kehadiran karyawan disabilitas itu sendiri. Karena itu, pimpinan program ini yang juga manajer tim inclusion and diversity berinisiatif mencari tenaga kerja disabilitas, yang tidak hanya disabilitas saja tetapi juga memenuhi standar perusahaan.
Ditawarkanlah saya untuk bekerja di sana, sebagai anggota tim tersebut dan bagian dari program inklusi disabilitas. Aawalnya saya ragu, karena tak ingin ditempatkan di posisi yang tidak coccok baik dengan keahlian maupun keterbatasan saya, seperti yang pernah diceritakan seorang teman. Namun, saya belum pernah bekerja di perusahaan besar sebelumnya dan ingin mencoba pengalaman baru ini. Terlebih lagi, calon manajer saya menjanjikan bahwa saya akan diberikan tugas-tugas yang sesuai dengan kemampuan, keterbatasan dan minat saya. Gayung pun bersambut, dan resmilah saya menjadi pekerja disabilitas pertama yang di-hire di kantor pusat perusahaan tersebut.
Memberikan Kesempatan, Mengambil Kesempatan
Di hari pertama saya bekerja, perusahaan menggelar pelatihan sehari mengenai dunia disabilitas. Saya bersama beberapa teman disabilitas lain diundang sebagai narasumber bersama seorang pemerhati disabilitas sekaligus juru bahasa isyarat. Pelatihan ini ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada perwakilan karyawan perusahaan dari berbagai ttim – mulai dari divisi hubungan industrial sampai bagian manufaktur – untuk terjun langsung dan berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Pasalnya, sebagian besar dari mereka belum pernah memiliki pengalaman ini.
Selama pelatihan berlangsung, para peserta berpartisipasi dengan sangat antusias, dan tak segan berinteraksi dengan teman-teman disabilitas yang diundang, termasuk saya sendiri. Salah satu peserta bahkan mendapatkan nama isyarat – sebutan khusus untuk seseorang dalam bahasa isyarat – yang diberikan oleh salah satu teman tunarungu yang hadir kala itu.
Tak hanya dalam pelatihan, interaksi yang baik ini pun berlanjut selama saya bekerja di sana. Terbukti dua minggu berselang, ketika saya secara resmi masuk kantor untuk pertama kalinya dan rekan-rekan dari tim keamanan dan keselamatan kerja memberikan briefing terkait kepada saya. Mereka menjelaskan poin-poin yang ada tanpa mengacu kepada gambar atau tempat yang belum pernah saya kunjungi, lantaran saya tunanetra. Namun, mereka tidak serta-merta menganggap saya sulit melakukan sesuatu. Alih-alih demikian, mereka menawarkan opsi tandu/escape chair ketika kami mempraktikkan turun lewat tangga darurat, yang ketika itu saya tolak karena sudah terbiasa naik-turun tangga, dan tangga yang ada di sana kebetulan mudah saya lalui karena memiliki railing, anak tangganya berjarak sama satu sama lain, dan bersudut siku. Dan, setiap kali saya masuk kantor, karena infrastruktur lokkasi kerja belum memungkinkan bagi seorang tunanetra total seperti saya untuk bernavigasi sendiri, teman-teman petugas keamanan perusahaan selalu siap mengantar hingga ke meja kerja saya.
Dalam acara kantor pun, banyak teman di luar tim yang dengan sangat antusias mendampingi saya sepanjang acara. Tak hanya membantu mengambilkan makanan atau sejenisnya, mereka pun secara aktif belajar hal-hal baru, seperti cara menggandeng tunanetra yang baik, memberikan “laporan pandangan mata” – suasana apa saja yang ada di sekitar – dan bertanya bagaimana cara saya bekerja sebagai tunanetra.
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa tidak ada salahnya mencoba, terjun langsung dengan bekal minim tidak apa-apa asal ada niat baik untuk belajar, dan selama ada keinginan pasti ada jalan. Semoga hal ini juga bermanfaat baik bagi sahabat D’Impact. Salam inklusi!
Dan, jika sahabat D’Impact ingin mengikuti pengalaman saya selengkapnya selama bekerja di perusahaan ini, mari simak artikel selanjutnya!