Sahabat D’Impact, bangunan yang kokoh berawal dari fondasi yang kokoh, bukan? Demikian pula dengan kesempatan untuk maju dan berkembang. Bagi saya, seorang pekerja disabilitas yang jarang berkesempatan mendapatkan pengalaman kerja yang variative, membangun diri adalah awal dari semua usaha meraih kesempatan untuk maju dan berkembang.

Apakah yang dimaksud dengan “membangun diri” dalam hal ini? Seperti apa penerapannya bagi seorang pekerja disabilitas seperti saya? Mari Simak ulasannya di bawah ini:

Membangun Kepercayaan Diri, Keterampilan dan Pengalaman

Hingga kini, sudah cukup banyak pekerjaan yang saya geluti, sahabat D’Impact. Namun, Sebagian besar pekerjaan tersebut bersifat lepasan atau tidak begitu mengedepankan aspek interpersonal. Tempat saya bekerja pun biasanya Yayasan, Lembaga riset atau Perusahaan startup. Baru pada tahun 2022 saya untuk pertama kalinya bekerja di Perusahaan besar, dengan jumlah karyawan dan cakupan kerja yang serupa.

Di sana, saya menemukan bahwa fondasi pengalaman kerja saya memang besar, tetapi belum begitu kokoh. Misalnya, saya memang sudah pernah merancang program acara dan menjadi ketua panitia, tetapi belum pernah menggabungkan kedua tugas tersebut menjadi satu. Saya pun belum pernah melaksanakannya dalam cakupan Perusahaan besar, dengan jumlah serta sebaran dan kelompok karyawan yang sangat variatif.

Bagi saya, kesadaran akan hal ini adalah awal dari membangun diri, sahabat D’Impact. Sementara itu, membangun diri adalah membangun kepercayaan diri, keterampilan serta pengalaman yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menghadapi tantangan. Dan, seperti yang telah saya utarakan sebelumnya, saya percaya bahwa membangun diri adalah modal meraih kesempatan untuk maju dan berkembang.

Peran Pimpinan dalam Membangun Diri

Pimpinan memiliki peran besar dalam hal ini, sepengalaman saya. Pimpinan dapat mendorong dan memberikan kesempatan dengan cara memberikan tugas-tugas yang variative beserta dukungan moral dan mentoring. Hal ini terasa sangat penting terlebih bagi pekerja disabilitas seperti saya, yang seringkali dicap tidak mampu mengerjakan sesuatu dan, tak jarang, akhirnya mencap diri sendiri tidak mampu.

Saya mendapati diri tidak luput dari fenomena tersebut saat manajer tim meminta saya menggelar kampanye sadar disabilitas di Perusahaan. Saat itu, saya harus memimpin sejumlah rapat dengan pihak luar yang tentunya memandang reputasi Perusahaan tempat saya bekerja, juga dengan tim-tim lain yang, meski seperusahaan dan sedivisi, tak begitu saya kenal. Saya panik dan merasa minder, dan berusaha melimpahkan tugas tersebut kepada rekan setim.

“Aku kan harus baca catatanku di computer supaya tahu agenda berikutnya apa. Nah, screen reader-nya kan bacanya lama. Takutnya suasananya jadi hening dan kikuk gitu selama aku baca. Nanti akunya jadi tambah kikuk dan akhirnya pikirannya nge-blank,” demikian salah satu alas an yang saya utarakan kepada manajer tim.

Mendengarnya, beliau bersikukuh meminta saya memimpin rapat. Namun, kini saya berbekal janji beliau untuk mendampingi selama rapat, mengisi kesunyian jika perlu, dan mengambil alih rapat jika mendesak. Bagi saya, janji tersebut adalah tali penyelamat yang sangat berharga, sahabat D’Impact, apalagi Ketika beliau menepati janji saat saya kewalahan.

Berinisiatif Menempa Diri demi Meraih Kesempatan untuk Maju dan Berkembang

Menurut saya, membangun diri adalah on-going process, karena kita perlu selalu memperbaiki serta memperkaya diri dengan keterampilan dan pengalaman. Bagi orang-orang seperti saya, memupuk kepercayaan diri pun demikian, sahabat D’Impact. Namun, hal ini tak berarti kita tak dapat berusaha meraih kesempatan untuk maju dan berkembang begitu fondasi sudah cukup solid. Dalam hal ini, selepas kampanye, saya mengutarakan usulan kepada manajer tim untuk menggelar acara-acara yang tak sempat terwujudkan dalam kampanye.

“Jalan aja,” begitu kata beliau setelah saya mengutarakan niat mengajak komunitas pesepeda di kalangan karyawan Perusahaan untuk bersepeda Bersama para tunanetra. “Kontak PIC-nya, brainstorming bareng, terus bikin proposalnya. Tapi aku nggak tahu PIC-nya siapa. Coba deh kamu tanya-tanya.”

Mendengarnya, saya terkejut dan jadi ragu sendiri. Pasalnya, saya menyangka akan banyak dibantu, sama seperti selama kampanye. Saya pun tidak menyangka bahwa saya akan mendapatkan lampu hijau untuk gagasan saya secepat ini. Keraguan tersebut bertambah besar Ketika saya kesulitan menemukan penanggungjawab komunitas pesepeda yang dimaksud. Saya di-“pingpong” dari satu orang ke orang lain, dan tak jarang juga yang bahkan tidak tahu-menahu tentang komunitas ini.

Ketika menghadapi tantangan ini, kepercayaan diri dan kegigihan yang mulai terpupuk saat kampanye serta dalam tugas-tugas lain terbukti sangat berarti. Saya terus berusaha mencari “sasaran” yang dituju sambal memformulasikan ide saya dengan sedikit masukan dari manajer tim. Kemudian, Ketika berhasil mengontak penanggungjawab komunitas pesepeda, saya segera berkolaborasi dengan beliau untuk menggelar rapat terkait hal ini. Di dalam rapat pun, manajer tim bertindak sepenuhnya hanya sebagai pendengar dan silent support!

Bagi saya, hal ini adalah sebuah pencapaian besar, juga bukti bahwa saya sudah mulai betul-betul membangun diri, meletakkan fondasi untuk “bangunan” yang harapannya akan berdiri kokoh di Tengah terpaan tantangan. Dan kesadaran inilah, beserta keinginan yang muncul karenanya untuk meraih kesempatan untuk maju dan berkembang, yang mendorong saya untuk menyanggupi permintaan rekan setim dalam program Disability Inclusion untuk menjadi penanggungjawab sebuah program yang bersifat berkesinambungan.

Seperti apa program tersebut dan bagaimana perwujudannya? Mari jelajahi Bersama saya di artikel berikutnya, sahabat D’Impact!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *