
Sahabat D’Impact, setiap pengalaman pasti menawarkan tantangan dan sensasi yang berbeda-beda. Pengalaman tim Inclusion and Diversity di tempat saya bekerja dulu dalam usaha menggalakkan inklusi disabilitas di luar waktu kerja pun demikian.
Banyak hal yang kami pelajari dari pengalaman ketika saya – seorang tunanetra total – menghadiri acara ulang tahun perusahaan dan penanaman bakau. Dan, rupanya, manajer tim ingin pengalaman kami “naik kelas” ke event yang lebih menantang lagi.
Apakah event yang dimaksud dan bagaimana kami menyiasatinya? Mari simak jawabannya di bawah ini, sahabat D’Impact:
Berita Mencengangkan
Saat itu sudah 6 bulan saya bekerja di perusahaan multinasional ini, dan perpanjangan kontrak saya yang kedua sudah hampir berakhir. Saya mengira bahwa kontrak tersebut tidak akan diperpanjang. Jadi, ketika manajer tim beserta seorang rekan setim menghampiri, saya mengira bahwa mereka hendak mengabari tentang hal tersebut, sahabat D’Impact.
Namun, ternyata, kabar yang mereka sampaikan adalah bahwa saya diajak turut serta dalam outing akhir tahun perusahaan ke Bali! Kemudian mereka menjelaskan kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul dari balik undangan ini: Acara tersebut akan berlangsung selama 3 hari di lokasi yang berbeda-beda di seputaran Bali. Rangkaian agendanya pun beragam dan terkadang physically active. Belum lagi, karyawan berangkat ke Bali dan pulang menggunakan pesawat terbang secara perorangan, meskipun dalam penerbangan yang mungkin sama.
“Harusnya kamu sekamar sama aku,” manajer tim menambahkan. “Tapi keluargaku juga ke Bali nanti, di hotel yang berbeda, jadi aku bareng sama mereka malamnya. Okekah kalau kamu sendirian pas malamnya, Lis (nama panggilan saya)?”
Salutnya, meskipun berhadapan dengan tantangan-tantangan tersebut, teman-teman tetap sangat bersemangat menapaki jenjang baru inklusi disabilitas di luar waktu kerja ini. Namun, tetap saja, kami harus memunculkan solusi dalam waktu 2 minggu ke depan, karena tiket penerbangan akan segera dipesankan panitia.
Mengubah Pola Pikir
“Bawa si tante (ibu saya) aja, Kak,” usul rekan setim ketika saya mengakui bahwa saya sangat menyanggupi tidur sekamar sendiri selama 2 malam, tetapi khawatir terjadi kesulitan yang tidak dapat dipecahkan sendiri saat itu.
“Tapi kan jadi nggak mencerminkan kemandirian orang difabel,” saya menyanggah, berkeras pergi sendiri meskipun manajer tim pun menyetujui ide rekan tersebut.
“Kan selama gathering kamu tetap didampingi kita-kita, Lis. Tante cuma bareng kamu pas malamnya aja,” beliau menunjukkan. “Anggap aja liburan semi-gratis.”
Persepsi dari sudut pandang yang baru tersebut membuat saya tertegun dan berpikir, “Benar juga,” sahabat D’Impact. Saya pun tertegun Kembali Ketika menyadari bahwa rekan-rekan setim telah mengaturkan sejumlah buddy untuk mendampingi saya di setiap sesi dalam acara nanti. Terlebih lagi, saya tak menyangka bahwa ada teman-teman di luar tim – yang Sebagian besar belum mengenal saya – yang bersedia menyisihkan waktu mereka untuk mendampingi saya selama beberapa jam setiap kalinya.
Perspektif baru inilah yang akhirnya membuat saya mengatakan, “Ya,” dan segera bertindak, sahabat D’Impact. Dan, hasilnya….
Keluarga Besar
Sepanjang penerbangan dan selama perjalanan menuju hotel, saya mengobrol seperti biasa dengan teman-teman sekantor. Tak ada yang merasa canggung atau bertanya-tanya tentang kehadiran pendamping di sisi saya. Saat acara akan segera dimulai pun sudah ada buddy yang siap dan dengan gembira menemani.
Acara makan bermodel prasmanan merupakan sesuatu yang rumit bagi tunanetra total, yang tak mudah bermobilitas dan tidak dapat melihat. Begitu pula dengan membuat sate Bali, mengecat topeng, dan merakit perahu dari kerangka kayu serta puluhan botol air mineral bekas, yang dilakukan sebagai rangkaian team bonding Bersama seluruh karyawan. Namun, dalam seluruh kegiatan tersebut, para buddy dengan senang hati belajar on the spot tentang cara mendampingi seorang tunanetra total. Yang tak ditugasi sebagai buddy pun tak bersikap canggung Ketika berinteraksi dengan saya, dan selalu siap bertukar tawa ataupun membantu.
Dan, sekembalinya kami ke day-to-day business, suasana yang cair dan relasi yang lebih dekat ini berlanjut, sahabat D’Impact. Upaya inklusi disabilitas di luar waktu kerja ini berhasil, berkat tekad semua pihak untuk mencoba serta belajar sesuatu yang baru.
Apakah saat ini sahabat D’Impact juga sedang mempertimbangkan mencoba sesuatu yang baru seperti kami dalam pengalaman ini? Apa pun itu, semoga sukses dan salam inklusi!